Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 21 November 2025
home masjid detail berita

Cahaya Rasul untuk Wanita: Kemuliaan yang Tak Pernah Padam

miftah yusufpati Ahad, 21 September 2025 - 05:45 WIB
Cahaya Rasul untuk Wanita: Kemuliaan yang Tak Pernah Padam
Perempuan dimuliakan bukan karena status, melainkan iman, kasih, dan pengorbanan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Suatu hari di Madinah, Nabi Muhammad saw. terlihat menangis di hadapan para sahabat. Air matanya tumpah ketika beliau menziarahi makam ibunda, Aminah binti Wahb. “Aku memohon izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampun bagi ibuku, tetapi Dia tidak memberiku izin. Namun, aku diberi izin untuk berziarah ke kuburnya,” sabda Nabi, sebagaimana diriwayatkan Muslim. Tangisan itu menjalar, membuat para sahabat ikut tersedu.

Bagi antropolog Marcia Hermansen dalam Women and the Transmission of Religious Knowledge in Islam (1999), fragmen itu mencerminkan satu hal: Islam bukan hanya menghadirkan figur laki-laki sebagai pusat sejarah, tetapi juga memberi ruang mulia bagi perempuan dalam pengalaman religius Nabi. “Kesedihan Nabi kepada ibunya adalah pengakuan spiritual bahwa perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah pewahyuan,” tulis Hermansen.

Baca juga: Baca juga: Aisyah, Khadijah, dan Kata Cinta yang Tak Pernah Usang

Khadijah yang Tak Pernah Dilupakan

Kemuliaan berikutnya tampak dalam cara Rasulullah memperlakukan Khadijah binti Khuwailid. Aisyah, istri Nabi, pernah mengaku cemburu luar biasa terhadap Khadijah—padahal ia tak pernah sekalipun melihatnya. “Beliau sering menyebut-nyebut Khadijah. Bahkan menyembelih kambing, memotong-motongnya, lalu mengirimkan kepada sahabat-sahabat Khadijah,” kata Aisyah (HR Bukhari-Muslim).

Rasulullah menjawab cemburu Aisyah dengan sederhana: “Khadijah itu adalah seorang wanita utama, bijaksana, dan darinya aku dikaruniai anak.” Kata-kata itu, menurut Leila Ahmed dalam Women and Gender in Islam (1992), memperlihatkan betapa Islam awal tidak menegasikan peran domestik perempuan, melainkan mengangkatnya sebagai fondasi perjuangan.

Fatimah, Bagian dari Diriku

Putri Nabi, Fatimah az-Zahra, mendapat perlakuan penuh cinta. “Fatimah adalah bagian dari diriku. Siapa yang membuatnya marah, berarti membuatku marah,” sabda Nabi (HR Bukhari-Muslim). Dalam riwayat lain, Rasulullah menyambut Fatimah dengan hangat: “Selamat datang putriku.” Ia dipersilakan duduk di samping kanan atau kiri beliau.

Fatimah bukan sekadar putri. Ia simbol kesinambungan spiritual. Dalam Women in the Qur’an, Traditions, and Interpretation (2006), Barbara Stowasser menulis, “Fatimah dilihat sebagai figur transenden yang mewakili keterhubungan manusia dengan nur Ilahi.” Bagi komunitas Muslim, keutamaan Fatimah melampaui biologi: ia adalah representasi moral, kasih sayang, dan legitimasi rohani.

Baca juga: Riwayat Sahih: Ali Bin Abi Thalib Baiat Abu Bakar Usai Wafatnya Fatimah

Umamah, Simbol Perlawanan Tradisi

Ketika shalat berjamaah, Rasulullah kerap menggendong cucunya, Umamah binti Zainab. Saat rukuk dan sujud, beliau meletakkannya; ketika berdiri kembali, beliau menggendongnya (HR Bukhari-Muslim). Al-Fakhani menafsirkan, tindakan itu sebagai kritik sosial terhadap budaya Arab jahiliah yang merendahkan anak perempuan. “Nabi ingin mengubah persepsi dengan tindakan, bukan sekadar kata-kata,” tulisnya.

Bagi sejarawan sosial Jack Goody dalam The Development of the Family and Marriage in Europe (1983), simbol semacam itu krusial: perubahan budaya besar selalu dimulai dari praktik kecil di ruang domestik. Shalat Nabi bersama cucunya adalah pesan peradaban bahwa anak perempuan adalah anugerah, bukan aib.

Ummu Aiman dan Halimah, Ibu dalam Cinta

Tak hanya keluarga inti, Rasulullah juga memuliakan perempuan lain yang berperan dalam hidupnya. Ummu Aiman, pengasuh beliau sejak kecil, diberi bagian harta hingga sepuluh kali lipat saat menolak berbagi dengan sahabat lain (HR Bukhari-Muslim). Halimah as-Sa’diyah, ibu susuan Nabi, pun pernah disambut dengan penuh hormat. “Beliau membentangkan selendangnya untuk diduduki Halimah,” riwayat Abu Daud menegaskan.

Dalam Mothers and Sons, Mothers and Daughters in Islamic Culture (2015), Asma Sayeed menyebut penghormatan itu sebagai “rekognisi sosial.” Nabi tak pernah melupakan jasa pengasuhan, menegaskan bahwa ikatan kasih jauh melampaui ikatan darah.

Baca juga: Bulan Muharram: Pernikahan Ali dan Fatimah, Tak Ada Mas Kawin Berlimpah

Perempuan dalam Pandangan Rasulullah

Tak hanya keluarga, Nabi juga menunjukkan kecintaan kepada kaum perempuan secara umum. Anas bin Malik meriwayatkan: “Beliau berkata kepada para wanita Anshar: ‘Demi yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian adalah orang-orang yang paling aku cintai.’” (HR Bukhari-Muslim).

Rasulullah bahkan menaruh perhatian kepada perempuan miskin yang bekerja sebagai petugas kebersihan masjid. Ketika wanita itu meninggal tanpa sepengetahuannya, beliau mendatangi kuburnya dan melakukan shalat di sana (HR Bukhari-Muslim). Dalam tafsir al-Nawawi, tindakan itu memperlihatkan kesetaraan spiritual: kemuliaan tidak diukur status sosial, melainkan iman dan kontribusi.

Membaca Ulang Kemuliaan

Pertanyaannya, apakah kemuliaan itu hanya milik masa lalu? Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) mengingatkan bahwa teladan Nabi mesti dipahami sebagai prinsip universal. Penghormatan Rasulullah kepada ibunya, istrinya, putrinya, cucunya, pengasuhnya, hingga perempuan miskin adalah peta moral bagi umat Muslim dalam membangun relasi gender yang adil.

Baca juga: Kisah Cinta dan Kehidupan Rumah Tangga Sayidina Ali dan Sayyidah Fatimah

Namun, realitas hari ini sering berbanding terbalik. Perempuan masih menghadapi diskriminasi sosial, kekerasan domestik, bahkan marginalisasi politik. Padahal, seperti dicatat Amina Wadud dalam Qur’an and Woman (1999), “Kesetaraan gender dalam Islam bukan sekadar ideal, melainkan fondasi spiritual yang diwariskan Rasulullah.”

Jika Nabi Muhammad saw. menegakkan kemuliaan perempuan dalam tiap lini hidupnya, umatnya pun berkewajiban menyalakan kembali obor itu. Bukan hanya dalam retorika, melainkan dalam kebijakan sosial, hukum, hingga etika keseharian. Sebab, salam yang pernah disampaikan Jibril untuk Khadijah dan Aisyah, pujian untuk Fatimah, pelukan untuk Umamah, serta doa di kubur perempuan miskin itu, sejatinya adalah salam langit bagi seluruh perempuan hingga akhir zaman.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 21 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:05
Maghrib
17:54
Isya
19:08
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan