LANGIT7.ID- Dalam riwayat paling tua tentang manusia, sebuah adegan intim di Taman Surga mengalir pelan: terbukanya aurat Adam dan Hawa. Dari titik mula inilah, menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Quran (Penerbit Mizan), manusia menemukan sesuatu yang lebih dalam ketimbang sekadar selembar daun, yakni kesadaran fitrah bahwa aurat harus ditutup.
Para ulama, menelusuri kisah itu melalui ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan bahwa pakaian bukanlah produk budaya yang lahir kemudian. Ia hadir sejak manusia memperoleh daya sadar. Ayat Al-A’raf [7]:20 menggambarkan bagaimana setan membujuk Adam dan Hawa untuk memakan buah terlarang, “untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya.” Kata-kata itu menunjukkan bahwa sejak awal, aurat manusia telah tertutup secara alamiah sebelum terbuka.
Setelah menyadari keterbukaannya, Adam dan Hawa mengambil daun-daun surga. Tetapi ini bukan sekadar daun penutup. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata
yakhshifān, dari akar
khashf, berarti menempelkan lembar demi lembar agar menjadi kokoh. Artinya, pakaian mula-mula itu tebal, tidak tembus pandang, dan tidak dimaksudkan setengah hati. Naluri berpakaian itu hadir seketika, tanpa perintah formal.
Ada pula empat panggilan Ya Bani Adam dalam surat Al-A’raf. Bukan kepada orang beriman, bukan pula kepada umat Nabi Saw., tetapi kepada seluruh manusia. Empat ayat itu berbicara tentang pakaian: anugerahnya, ancaman setan yang menelanjangi, perintah memakai pakaian indah di masjid, hingga kewajiban mengikuti tuntunan para rasul termasuk etika berpakaian. Al-Quran, dengan demikian, menempatkan pakaian sebagai kebutuhan universal, bukan aturan sektarian.
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menggarisbawahi bahwa menutup aurat tidak membutuhkan upaya besar. Bentuk pasif ayat tentang tertutupnya aurat Adam dan Hawa mengisyaratkan bahwa menutup aurat dapat dilakukan dengan apa saja yang tersedia—bahkan daun, selama memadai. Naluri inilah yang tampak pada manusia primitif yang selalu menutupi bagian yang dianggap aurat, meski tanpa ajaran agama formal.
Di balik kisah ini, tergambar bagaimana pakaian bukan sekadar sandang. Ia menjadi batas kesadaran, penanda martabat, dan salah satu jejak pertama yang memisahkan manusia dari insting belaka. Di masa ketika industri mode mengekspor tren setiap pekan, kisah daun surga itu mengingatkan bahwa pakaian pertama manusia bukan tentang gaya, melainkan tentang fitrah.
(mif)