LANGIT7.ID- Pada suatu masa di Madinah, awal-awal Islam menjejak sebagai masyarakat baru, pakaian perempuan Muslim tak berbeda jauh dari perempuan lain—termasuk budak dan pekerja seks. Mereka memakai baju, kerudung, bahkan jilbab, namun leher, telinga, dan sebagian dada tetap terbuka. Kerudung sering disampirkan ke belakang, sehingga identitas sosial—apalagi keimanan—nyaris tak terbaca dari cara berpakaian.
Di celah kerancuan identitas itu, kaum munafik memainkan peran. Mereka menggoda perempuan Mukminah dan, ketika ditegur, berkelit: “Kami kira mereka budak.” Begitu catatan Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an. Situasi sosial yang semrawut itu menjadi latar turunnya ayat yang kemudian menjadi salah satu pijakan utama pembahasan jilbab dalam Islam.
“
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang Mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…” (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Tujuannya jelas: agar para perempuan mudah dikenali sebagai Muslimah merdeka—perempuan baik-baik—sehingga tidak diganggu. Quraish Shihab mencatat: ini bukan perintah “memulai” pemakaian jilbab, tetapi memperbaiki cara memakainya. Mereka sudah berjilbab, hanya saja tidak cukup menutup tubuh sehingga tak berfungsi sebagai penanda identitas.
Perdebatan Lama Ayat lain yang menjadi rujukan penting adalah QS Al-Nur (24): 31. Di sana, Al-Qur’an memerintahkan perempuan beriman menahan pandangan, menjaga kehormatan, tidak menampakkan zinah—hiasan—kecuali “yang tampak darinya.” Frasa pendek itulah yang membuat para mufasir berdebat panjang.
Mayoritas sepakat bahwa zinah berarti hiasan tubuh atau perhiasan yang mempercantik: pakaian, perhiasan emas, rias wajah. Masalahnya: apa yang dimaksud “yang tampak”?
Quraish Shihab menguraikan tiga tafsir besar yang muncul:
1. Illa sebagai pengecualian penuh Artinya, perempuan dilarang menampakkan hiasan apa pun, kecuali jika terlihat tanpa sengaja. Penafsiran ketat ini—didukung hadis tentang larangan memandang kedua kali—membawa pada kesimpulan bahwa seluruh tubuh harus ditutup kecuali dalam keadaan terpaksa.
2. Illa sebagai sisipan makna “tanpa dosa bila tak sengaja” Nuansa mirip pendapat pertama: batas aurat tetap ketat, hanya memberi kelonggaran jika tampak karena faktor tak terhindarkan.
3. Illa sebagai bagian yang biasa tampak Ini pendapat mayoritas ulama dan dinilai Quraish Shihab paling logis. Bagian tubuh yang “biasa tampak”—karena kebutuhan gerak dan interaksi sosial—tidak termasuk yang wajib ditutup.
Di sinilah diskusi fiqih melebar. Al-Qurthubi mengutip pendapat sejumlah ulama besar: Said bin Jubair, Atha, Al-Auza’i, serta sahabat Ibn Abbas yang membolehkan tampaknya wajah dan kedua tangan. Bahkan ada yang menambahkan telapak kaki, anting, dan gelang sebagai perhiasan yang lazim terlihat.
Mazhab Hanafi lebih longgar. Abu Hanifah berpendapat kaki bukan aurat, dengan alasan kesulitan yang dialami perempuan pedesaan pada masanya. Muridnya, Abu Yusuf, menilai tangan pun bukan aurat karena menutupnya menyulitkan aktivitas perempuan.
Prinsip
laa haraj—tiada kesempitan dalam agama—menjadi alasannya. Al-Qur’an sendiri menegaskan: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan kesulitan.” (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Penafsiran yang Bertumpu pada KebiasaanIbnu Athiyah—dikutip Al-Qurthubi—mengajukan gagasan yang kemudian menjadi rujukan penting: bagian tubuh yang dibolehkan tampak bisa berkembang sesuai kebutuhan mendesak dalam tiap masyarakat. Tetapi Al-Qurthubi, yang lebih konservatif, mengembalikannya pada kebiasaan masa Nabi: wajah dan kedua telapak tangan.
Departemen Agama menerjemahkan frasa “kecuali yang tampak darinya” sebagai “kecuali yang biasa tampak darinya.” “Biasa” menjadi kata kunci yang lentur sekaligus penuh jebakan: tradisi siapa yang menjadi patokan? Madinah abad ke-7? Atau masyarakat Muslim mana pun di berbagai zaman?
Ada satu titik menarik yang disorot Quraish Shihab: ayat Al-Nur memerintahkan perempuan menutupkan kerudung ke juyub—dada, bagian leher terbuka di baju. Tetapi ayat itu tak menyebut rambut secara eksplisit.
Bukan berarti rambut tidak perlu ditutup, tulis Quraish Shihab. Pada masa itu, kerudung memang objek yang jelas fungsinya: penutup kepala. Karena itu ayat hanya memerintahkan perbaikan cara pemakaian, bukan penetapan fungsi kerudung dari nol. Rambut, sebagai hiasan utama perempuan, dipandang lebih dahulu untuk ditutupi.
Pertanyaan yang bergerak melintasi zaman adalah: apakah standar “yang biasa tampak” milik masyarakat Arab abad ke-7 harus dipertahankan apa adanya, ataukah prinsipnya dapat dikontekstualkan?
Quraish Shihab cenderung memilih pendekatan maqashid—tujuan syariat. Ayat tentang jilbab dalam Al-Ahzab turun untuk dua tujuan sosial:
1. Menegaskan identitas moral perempuan Muslim,
2. Mencegah gangguan dan pelecehan.
Sedangkan tafsir Al-Nur menekankan etika zinah, estetika yang tertata, bukan peniadaan keindahan.
Di tengah kerumitan sosial modern—dari pelecehan daring hingga kompetisi estetika di media sosial—dua ayat itu kembali tampil, bukan hanya sebagai teks hukum, tetapi sebagai pedoman etis untuk menghadirkan keamanan, martabat, dan identitas spiritual.
(mif)