LANGIT.ID-Di sebuah ruangan sunyi di Al-Azhar, Kairo, pada awal 1990-an, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis kalimat yang kini menjadi salah satu refleksi paling terkenal dalam dunia Islam modern: “Keindahan itu ada yang bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan ditangkap oleh indra lainnya.”
Dalam bukunya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Citra Islami Press, 1997), Qardhawi menegaskan bahwa seni—termasuk musik—adalah bagian dari fitrah manusia untuk merasakan keindahan. Namun, seperti semua hal dalam Islam, ia tidak lepas dari bingkai etika. “Pertanyaannya bukan apakah musik itu haram atau halal,” tulis Qardhawi, “tetapi bagaimana manusia menempatkannya agar tidak melanggar nilai-nilai moral.”
Pandangan Qardhawi bukan muncul di ruang hampa. Dalam sejarah Islam, musik menempati posisi yang kompleks. Di satu sisi, banyak ulama yang mengakui keindahan suara sebagai bagian dari nikmat Allah. Dalam hadis riwayat Bukhari, Rasulullah SAW pernah membiarkan dua gadis bernyanyi dengan rebana pada hari raya. Ketika Umar bin Khattab hendak menegur, Nabi berkata, “Biarkan mereka, wahai Umar. Ini hari raya.”
Namun, di sisi lain, muncul pula peringatan keras terhadap musik yang melalaikan. Imam Ibn Taymiyyah dalam
Majmu’ al-Fatawa (jilid 11) menyebut musik dapat menjadi “pintu syahwat” jika tidak dikendalikan oleh akal dan iman. Senada, Imam Al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin mengambil posisi tengah: musik dibolehkan jika membawa ketenangan dan menguatkan spiritualitas, tetapi terlarang jika menimbulkan kelalaian.
“Musik adalah cermin hati,” tulis Al-Ghazali. “Jika hatimu bersih, maka musik menambah kebeningannya. Jika hatimu kotor, maka musik menambah kegelapannya.”
Dari Seruling Padang ke Pop IslamiDalam sejarah peradaban Islam, musik tidak pernah benar-benar absen. Di Andalusia, Ziryab—seorang musisi keturunan Persia abad ke-9—memadukan seni, ilmu, dan adab, mendirikan sekolah musik yang menjadi fondasi bagi teori musik Barat modern. Di dunia Timur, tradisi qasidah, nasyid, dan samā’ sufi berkembang sebagai ekspresi cinta kepada Tuhan.
Buku
Music of the Arabs karya Habib Hassan Touma (Routledge, 1996) mencatat bahwa konsep
maqām—sistem tangga nada Arab—menjadi bukti bahwa umat Islam tidak menolak musik, melainkan mengembangkannya dalam kerangka nilai.
Dalam konteks modern, perdebatan serupa muncul dalam wajah baru: dari nasyid religi hingga musik pop bernuansa Islami. Akademisi Ethnomusicology Universitas Harvard, Prof. Kristina Nelson, dalam
The Art of Reciting the Qur’an (University of Texas Press, 2001), bahkan menyebut tilawah Al-Qur’an sebagai bentuk tertinggi dari “seni suara Islami”. Ia menulis, “Bacaan Al-Qur’an adalah musik tanpa musik. Ia menggerakkan emosi tanpa irama duniawi.”
Antara Keindahan dan KehampaanMeski Qardhawi dikenal sebagai ulama moderat, ia tetap memberi batas tegas: seni suara boleh dinikmati, tetapi tidak boleh menjauhkan dari dzikir. “Musik yang memuliakan cinta, kerja, dan kebajikan adalah keindahan yang didengar,” tulisnya, “tetapi musik yang menyeret manusia ke dalam kelalaian adalah keindahan yang rusak.”
Pandangan ini mendapat resonansi dalam pemikiran filsuf Islam kontemporer Seyyed Hossein Nasr. Dalam
Knowledge and the Sacred (SUNY Press, 1989), Nasr menulis bahwa seni dalam Islam adalah jalan menuju Yang Ilahi. “Keindahan adalah cerminan kebenaran. Ketika keindahan terpisah dari kebenaran, ia kehilangan maknanya.”
Artinya, keindahan suara bukan tujuan, tetapi jembatan menuju kesadaran spiritual.
Kini, di era digital, umat Islam hidup di tengah lautan suara—dari lantunan nasyid sampai lagu viral TikTok. Pertanyaan lama kembali muncul: di manakah batas antara estetika dan etika?
Bagi Qardhawi, jawabannya sederhana namun dalam: “Selama hati tetap mengingat Allah, musik tidak akan menyesatkan.”
Dan mungkin, dalam ruang hening setelah gema azan atau setelah sebuah lagu usai, manusia akan menyadari bahwa yang terindah dari semua bunyi adalah diamnya hati yang sedang berdzikir.
(mif)