LANGIT7.ID-Apa sebenarnya yang dimaksud dengan paham kebangsaan? Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi jawabannya berlapis seperti simpul sejarah umat manusia. Apakah bangsa ditentukan oleh darah dan keturunan, oleh bahasa dan adat, atau oleh cita-cita yang sama?
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1997), menyebut paham kebangsaan sebagai “sesuatu yang abstrak, seperti listrik—tak terlihat wujudnya, tapi terasa pengaruhnya.”
Quraish Shihab menulis, dalam sejarah modern, nasionalisme muncul dari kesadaran kolektif manusia untuk bersatu atas dasar kesamaan asal-usul, budaya, dan nasib. Namun, bagi umat Islam, pertanyaan yang lebih dalam segera muncul: Apakah Al-Qur’an mendukung gagasan kebangsaan yang bersumber dari dunia modern itu?
Apakah Islam dapat menerima persatuan manusia yang tidak didasari oleh kesatuan agama?
Quraish Shihab memulai jawabannya dengan menelusuri satu kata kunci: ummat. Kata ini, tulisnya, muncul 51 kali dalam Al-Qur’an, dengan makna yang sangat lentur. Kadang berarti kelompok beriman, kadang berarti masyarakat secara umum, bahkan kadang menunjuk pada hewan—seperti dalam surat Al-An’am (6): 38: “Tidak ada binatang melata di bumi dan burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat seperti kamu.”
Dalam tafsir klasik
Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, pakar bahasa Ar-Raghib Al-Isfahani menjelaskan bahwa *ummat* berarti “kelompok yang dihimpun oleh satu kesamaan”—bisa agama, waktu, tempat, atau tujuan, baik karena kehendak sendiri maupun karena keadaan. Artinya, umat tidak selalu identik dengan agama.
“Makna umat,” tulis Quraish Shihab, “tidak dibatasi jumlah, wilayah, atau bentuk pemerintahan. Ia bisa seluas umat manusia, atau sesempit satu tokoh teladan.” Ia mencontohkan Nabi Ibrahim AS yang disebut sebagai
ummatan qanitan (QS An-Nahl [16]:120), karena keutamaan pribadinya mewakili nilai-nilai sebuah komunitas.
Dari Kesatuan Iman ke Kesatuan SosialDalam ayat lain, Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS Al-Anbiya’ [21]:92). Namun, menurut Shihab, kesatuan yang dimaksud bukanlah keharusan membentuk satu negara tunggal bagi seluruh umat Islam. Kesatuan yang diajarkan wahyu adalah kesatuan nilai dan tujuan moral, bukan kesatuan politik teritorial.
Pertanyaannya, apakah dibenarkan persatuan berbasis kesamaan keturunan, bahasa, atau sejarah—seperti yang menjadi fondasi paham kebangsaan modern?
Quraish Shihab menilai, tidak ada pertentangan antara nilai kebangsaan dan ajaran Al-Qur’an selama paham itu menegakkan keadilan, menghormati kemajemukan, dan tidak menggantikan Tuhan dengan tanah air sebagai sesembahan baru. “Persatuan manusia dalam Al-Qur’an bersumber pada nilai moral, bukan sekadar pada batas geografis,” tulisnya.
Dalam konteks ini, konsep ummat menampung spektrum makna yang luas: ia bisa berarti bangsa, komunitas, bahkan peradaban, selama dihimpun oleh semangat kebersamaan dan tanggung jawab kolektif.
Refleksi: Nasionalisme yang BertakwaPemaknaan lentur terhadap istilah ummat membuka ruang bagi integrasi antara nasionalisme dan spiritualitas. Islam, menurut Quraish Shihab, tidak menolak ikatan kebangsaan; justru mengarahkan agar ia dihidupi dengan nilai-nilai takwa.
“Bangsa,” tulisnya, “adalah wadah tempat manusia berbuat kebajikan. Bukan berhala yang dipuja, tapi amanah yang harus dijaga.”
Dalam refleksi ini, paham kebangsaan bukanlah antitesis dari keimanan, melainkan salah satu bentuk tanggung jawab moral yang sejalan dengan pesan Al-Qur’an: menjaga persaudaraan, menghormati perbedaan, dan menegakkan keadilan di atas bumi yang sama.
Maka, dalam pandangan Shihab, kebangsaan yang sejati bukanlah kesetiaan buta pada bendera, melainkan kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang diilhamkan Tuhan. Ia menulis: “Persatuan tanpa takwa hanyalah formalitas politik; tapi persatuan yang dijiwai iman melahirkan kemuliaan manusia.”
(mif)