Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 13 November 2025
home masjid detail berita

Makan dengan Takwa: Tafsir Kehalalan dan Keseimbangan dalam Pandangan Al-Quran

miftah yusufpati Kamis, 13 November 2025 - 05:15 WIB
Makan dengan Takwa: Tafsir Kehalalan dan Keseimbangan dalam Pandangan Al-Quran
Aktivitas biologis itu ternyata menyimpan pesan-pesan moral, spiritual, bahkan ekologis. Ilustrasi: Freepik
LANGIT7.ID- Di antara sekian banyak aktivitas manusia yang tampak sederhana, makan adalah salah satu yang paling sarat makna dalam pandangan Al-Qur’an. Aktivitas biologis itu ternyata menyimpan pesan-pesan moral, spiritual, bahkan ekologis. Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996) menulis bahwa perintah “makan” dalam Al-Qur’an tidak sekadar memenuhi perut, tetapi juga menjaga keseimbangan antara halal, sehat, dan takwa.

“Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapat di bumi,” demikian pesan Al-Baqarah ayat 168. Kalimat yang singkat namun sarat nilai itu, kata Quraish Shihab, mengandung dua prinsip utama dalam sistem pangan Islam: kehalalan (halal) dan kebaikan (thayyib).

Kata halal, menurut Quraish Shihab, berasal dari akar kata yang berarti “lepas” atau “tidak terikat”. Dalam konteks makanan, halal berarti terbebas dari bahaya, baik duniawi seperti penyakit, maupun ukhrawi seperti dosa. Artinya, tidak semua yang halal pasti menyehatkan, namun yang menyehatkan haruslah halal.

Nabi Muhammad SAW bahkan mengaitkan persoalan halal dengan dimensi etika. Dalam riwayat Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib, Nabi melarang seseorang masuk masjid setelah memakan bawang putih mentah. “Apakah itu haram?” tanya sahabat. “Tidak,” jawab Nabi, “tetapi aku tidak suka aromanya.”

Di situ, agama berbicara bukan hanya soal halal-haram dalam arti hukum, tetapi juga soal kepekaan sosial — sesuatu yang sering diabaikan dalam tafsir harfiah kehalalan.

Thayyib: Antara Gizi dan Ketenangan Jiwa

Jika halal berbicara tentang hukum, maka thayyib berbicara tentang kualitas. Quraish Shihab menulis bahwa thayyib berarti “lezat, baik, sehat, dan menenteramkan.” Ia adalah makanan yang tidak hanya aman secara medis, tetapi juga menghadirkan ketenangan batin bagi yang memakannya.

Dalam Al-Qur’an, daftar makanan yang thayyib terbentang luas: biji-bijian (QS As-Sajdah [32]: 27), ikan (QS An-Nahl [16]: 14), buah-buahan (QS Al-Mu’minun [23]: 19), madu (QS An-Nahl [16]: 69). Keragaman itu mengandung pesan keseimbangan. “Islam menuntut kearifan dalam memilih dan mengatur keseimbangan gizi,” tulis Quraish Shihab.

Hal ini sejalan dengan temuan modern. Dalam buku *The Qur’an and the Environment* (Oxford University Press, 2017), Prof. Seyyed Hossein Nasr menyebut bahwa ajaran Islam tentang makanan bukan hanya panduan rohani, tetapi juga bentuk etika ekologis — menjaga keseimbangan alam agar tetap menjadi sumber pangan yang berkelanjutan.

Proporsionalitas: Antara Nafsu dan Kecukupan

“Jangan berlebih-lebihan,” pesan Al-A’raf ayat 31. Ayat ini, kata Quraish Shihab, menegaskan prinsip moderasi dalam makan. Ia menulis, “Mengharamkan yang baik berarti mengurangi kebutuhan, sedangkan melampaui batas berarti berlebih dari yang wajar.”

Rasulullah SAW bahkan memberi ukuran sederhana dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah: “Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap untuk menegakkan tubuhnya. Jika harus memenuhi perut, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napas.”

Pesan ini kini menemukan relevansinya dalam konteks modern. Kajian *World Health Organization (WHO, 2023)* menunjukkan bahwa overkonsumsi dan pola makan tidak proporsional menjadi faktor utama meningkatnya penyakit degeneratif seperti diabetes dan obesitas. Dengan kata lain, prinsip proporsionalitas dalam Islam adalah panduan preventif kesehatan publik yang telah disabdakan berabad-abad lalu.

Aman: Takwa dalam Setiap Suapan

Dimensi terakhir dari perintah makan adalah aman. Dalam Al-Ma’idah ayat 88 disebutkan, “Makanlah dari rezeki yang telah Allah berikan, dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu beriman.”

Di sini, perintah makan dikaitkan dengan takwa — konsep yang, menurut Quraish Shihab, berarti keterhindaran dari segala yang menimbulkan bahaya dunia dan akhirat. Dalam bahasa ilmiah, takwa terhadap makanan berarti memastikan bahwa yang kita konsumsi tidak menimbulkan penyakit atau kerusakan lingkungan.

Filsuf Islam kontemporer, Prof. Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an (University of Chicago Press, 1980), menulis bahwa konsep halal-thayyib adalah bentuk konkret dari ethical self-restraint (pengendalian etis). Makanan bukan sekadar konsumsi, tetapi refleksi dari kesadaran moral terhadap ciptaan Tuhan.

Pada akhirnya, tafsir Quraish Shihab tentang makanan membuka ruang tafakur yang luas: bahwa makan bukan semata tindakan biologis, melainkan ibadah yang mencerminkan kesadaran spiritual.

“Makanlah apa yang direzekikan Allah, dan jangan mengikuti langkah-langkah setan,” (QS Al-An’am [6]: 142). Ayat ini, dalam pembacaan Quraish Shihab, menegaskan bahwa setiap suapan adalah pilihan moral — antara kesadaran dan kelalaian, antara takwa dan hawa nafsu.

Dalam masyarakat modern yang sering didera oleh pola konsumsi berlebihan, pesan Al-Qur’an tentang makanan menjadi semakin relevan. Bahwa yang halal bukan hanya soal label, tapi juga soal keberlanjutan, kesehatan, dan kebersihan nurani.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 13 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:40
Ashar
15:01
Maghrib
17:52
Isya
19:04
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan