LANGIT7.ID- Dalam wacana Islam, gagasan tentang “umat yang satu” sering disalahpahami sebagai panggilan untuk melebur segala perbedaan bangsa, bahasa, dan batas politik ke dalam satu wadah tunggal bernama kekhalifahan. Namun, menurut Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Penerbit Mizan, 1997), Al-Qur’an sesungguhnya mengajarkan sesuatu yang lebih lentur dan manusiawi: bukan penyatuan, tapi persatuan.
“Al-Qur’an,” tulis Quraish Shihab, “menyebut kata ummat yang digandengkan dengan wahidah (satu) sebanyak sembilan kali, tapi tidak sekali pun menggunakan istilah
wahdat al-ummah atau
tauhid al-ummah—penyatuan umat.” Maknanya, tegasnya, adalah bahwa yang ditekankan kitab suci bukanlah keseragaman institusional, melainkan kesatuan nilai dan tujuan.
Pandangan ini sejalan dengan tafsir
Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Mesir. Dalam pertemuan cendekiawan Muslim di Aljazair tahun 1988, Zaqzuq menyatakan, “Al-Qur’an menekankan sifat umat yang satu, bukan penyatuan umat.” Artinya, yang pokok adalah persaudaraan moral, bukan pemaksaan politik.
Persatuan Tanpa PenyatuanDalam tafsirnya, Quraish Shihab menulis bahwa ayat-ayat seperti “
Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu” (QS Al-Anbiya [21]: 92) menunjuk pada kesatuan prinsip akidah, bukan keseragaman bentuk negara. Al-Qur’an justru menegaskan perbedaan sebagai bagian dari kehendak Ilahi.
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja),” (QS Al-Ma’idah [5]: 48). Tetapi, kata
lauw dalam ayat ini menunjukkan kemustahilan: Allah memang tidak menghendaki manusia menjadi seragam.
Maka, bagi Quraish Shihab, paham kebangsaan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. “Al-Qur’an tidak menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia dalam satu wadah kenegaraan,” tulisnya. Kekhalifahan, yang dikenal hingga masa Utsmaniyah, hanyalah satu bentuk pemerintahan yang sah, tapi bukan bentuk tunggal yang diwajibkan. Selama nilai keadilan dan ukhuwah terjaga, bentuk negara bisa beragam.
Dalam pandangan ini, Islam memberikan ruang bagi manusia untuk menyesuaikan sistem sosial dan politiknya dengan konteks zaman. Al-Qur’an, tulis Shihab, “hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada manusia untuk menyesuaikannya dengan ruang dan waktu.”
Bangsa, Keturunan, dan IdentitasKonsep bangsa dalam Al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tidak terlepas dari pengakuan terhadap asal keturunan. “Salah satu tujuan agama adalah memelihara keturunan,” tulisnya, mengutip syariat pernikahan yang diatur untuk menjaga garis keluarga.
Al-Qur’an sendiri menyatakan, “Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal” (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Artinya, keberagaman suku dan bangsa adalah keniscayaan yang dimaksudkan bukan untuk memecah, melainkan memperkaya manusia. “Al-Qur’an merestui pengelompokan berdasarkan keturunan selama tidak menimbulkan perpecahan, bahkan mendukungnya demi kemaslahatan bersama,” tulis Shihab.
Rasulullah SAW pun menegaskan pentingnya ikatan kekerabatan. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud, Nabi bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah pembela keluarga besarnya selama pembelaannya bukan dalam dosa.” Tapi Islam juga menolak fanatisme kesukuan (‘ashabiyah) yang melahirkan superioritas. Identitas boleh dijaga, asal tidak dipuja.
Bahasa sebagai Jembatan BangsaBagi Quraish Shihab, bahasa adalah unsur lain yang mengikat manusia sebagai bangsa. Al-Qur’an menegaskan, “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu” (QS Ar-Rum [30]: 22). Keragaman bahasa, katanya, adalah bukti keesaan Allah, bukan alasan perpecahan.
Hadis yang diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi menyebut, “Al-Qur’an diturunkan dalam tujuh bahasa (atau dialek).” Ini menunjukkan penghargaan wahyu terhadap keragaman lidah manusia. Bahkan Nabi sendiri, tulis Shihab, kerap menyesuaikan dialek ketika berbicara dengan mitranya—suatu bentuk empati linguistik yang menjadi teladan.
Bahasa, menurut Shihab, lebih dari sekadar alat komunikasi. Ia adalah cermin pikiran dan perasaan. “Kesatuan bahasa mendukung kesatuan pikiran,” tulisnya. Karena itu, bangsa yang menjaga bahasanya berarti menjaga identitas dan eksistensinya. Dalam konteks ini, paham kebangsaan yang berakar pada kesatuan bahasa bukan hanya sah, tetapi sejalan dengan semangat Al-Qur’an.
Namun, ia mengingatkan: bahasa tidak boleh berhenti pada ujaran lisan. Yang lebih penting adalah bahasa hati dan pikiran—yakni kesatuan visi moral yang melampaui kata-kata. “Bahasa,” tulisnya, “harus melahirkan kesatuan perasaan dan pemikiran, bukan sekadar alat menyampaikan informasi.”
Dari Madinah ke Dunia ModernPiagam Madinah yang disusun Rasulullah menjadi contoh nyata sintesis antara iman dan kebangsaan. Di dalamnya, berbagai suku dan agama diakui sebagai ummat tersendiri, tapi mereka bersatu membela kota dari ancaman luar. Persatuan tanpa penyatuan—itulah model yang, menurut Quraish Shihab, sejalan dengan kehendak Al-Qur’an.
Pandangan itu diamini oleh Jamaluddin al-Afghani, tokoh Pan-Islamisme abad ke-19. “Liga Islam,” katanya, “bukan untuk menundukkan semua umat Islam di bawah satu kekuasaan, tapi untuk mengarahkan mereka kepada satu tujuan bersama.” Persatuan tujuan, bukan keseragaman bentuk.
Maka, bagi Quraish Shihab, Islam tidak menolak kebangsaan. Ia justru mengajarkan kebangsaan yang beretika: yang menghormati keturunan tanpa fanatisme, yang mencintai bahasa tanpa menafikan yang lain, dan yang membangun negara tanpa menyalahi nilai-nilai Ilahi. “Dalam kebhinekaan,” tulisnya, “Al-Qur’an mengajarkan ketunggalan yang berjiwa rahmah.”
(mif)