LANGIT7.ID-Di antara meja makan dan kitab suci, ada perdebatan panjang yang tak pernah selesai: mengapa sebagian makanan diharamkan? Pertanyaan itu mungkin lahir dari rasa ingin tahu manusia yang selalu ingin mencari “alasan” di balik perintah. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), jawaban yang ditemukan manusia sering kali hanya menyentuh kulitnya saja—tidak sampai ke inti kebijaksanaan ilahi.
“Babi,” tulis Quraish Shihab, “sering dijadikan contoh utama dalam pembahasan ini.” Ia mengutip pandangan Faruq Musahil dalam
Tahrim al-Khinzir fi al-Islam, yang menjelaskan bagaimana hewan itu membawa ancaman nyata bagi kesehatan. Dari cacing pita
Taenia solium yang bisa mencapai delapan meter di usus manusia, hingga kasus flu babi tahun 1918 yang menewaskan jutaan orang.
Dari perspektif medis, bukti-bukti bahaya daging babi terus bertambah. Dalam
The Journal of Infectious Diseases (2019), tim peneliti dari University of Minnesota menulis bahwa daging babi merupakan salah satu sumber zoonosis potensial—penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia—karena kemiripan genetik virus influenza babi dan manusia.
Ahmad Syauqi al-Fanjari, dalam
Ath-Thibb al-Wiqaiy fi al-Islam (Cairo, 1985), melengkapi catatan itu: kandungan lemak babi mencapai 50% dari berat tubuhnya, jauh lebih tinggi dibanding domba (17%) dan kerbau (5%). Lemak jenuh yang tinggi, tulisnya, berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular. Encyclopedia Americana juga mencatat bahwa lemak babi mengandung kolesterol 15 kali lebih tinggi dari daging sapi.
Namun, kata Quraish Shihab, bahaya biologis hanyalah sebagian dari persoalan. “Bukan di situ letak utama hikmah pengharaman,” tulisnya. Ada lapisan makna yang lebih dalam—tentang ketaatan, kebersihan batin, dan etika spiritual manusia dalam menanggapi perintah Tuhan.
Ketika Wahyu Mendahului IlmuSejarah mencatat, banyak larangan dalam agama yang baru terbukti “masuk akal” berabad-abad kemudian. Larangan memakan bangkai, darah, atau daging babi baru mendapat pembenaran medis setelah berkembangnya mikrobiologi dan biokimia. Namun, bahkan setelah penjelasan ilmiah ditemukan, sebagian ulama seperti Imam al-Ghazali tetap mengingatkan: jangan jadikan ilmu sebagai alasan utama taat.
Dalam
Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali menulis sebuah alegori yang dikutip kembali oleh Quraish Shihab: seorang ayah melarang anaknya menebang pohon di halaman rumah tanpa menjelaskan alasannya. Setelah sang ayah wafat, si anak menebang pohon itu karena mengira aromanya bisa digantikan oleh tanaman lain. Tak lama, seekor ular muncul dari lubang di bawahnya—dan hampir menerkamnya.
Maknanya jelas: manusia sering hanya mengetahui sebagian kecil dari hikmah larangan, sementara alasan terdalamnya tersembunyi dalam kebijaksanaan yang tak terjangkau akal. “Ketaatan yang sejati,” tulis Quraish Shihab, “bukan karena mengerti sepenuhnya, melainkan karena percaya sepenuhnya.”
Antara Sains dan SpiritualitasPendekatan rasional terhadap makanan haram sering kali berhenti di tataran biologi. Namun, dalam literatur Islam klasik dan modern, makanan juga dipandang memiliki pengaruh spiritual. Al-Harali (w. 1232 M) menafsirkan istilah
rijs dalam Al-Qur’an—yang menjadi alasan pengharaman daging babi (QS Al-An’am [6]:145)—sebagai “keburukan moral dan kebejatan akhlak.”
Pandangan itu ternyata bergaung dalam riset kontemporer. Dr. Alexis Carrel, peraih Nobel Kedokteran, dalam
Man the Unknown (1935), menulis bahwa makanan memengaruhi bukan hanya metabolisme, tetapi juga emosi dan perilaku manusia. “Perasaan manusia dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan,” tulis Carrel, “dan belum diketahui sepenuhnya bagaimana senyawa kimiawi makanan berinteraksi dengan jiwa.”
Sementara itu, riset neurosains modern menemukan keterhubungan kuat antara sistem pencernaan dan sistem saraf pusat. Michael Gershon dalam
The Second Brain (1998) menyebut usus manusia memiliki jaringan neuron yang kompleks, menghasilkan neurotransmitter yang memengaruhi suasana hati dan kestabilan emosi. Dalam konteks ini, makanan yang “kotor” bukan hanya mengotori tubuh, tapi juga menekan keseimbangan psikis.
Hikmah yang Melampaui ZamanJika sains menyorot zat, maka Al-Qur’an menyorot hikmah. Larangan makanan bukanlah bentuk pembatasan, melainkan perlindungan yang menyeluruh—jasmani, sosial, dan spiritual. Ia mengajarkan takwa melalui disiplin sehari-hari yang konkret: memilih apa yang masuk ke tubuh.
Quraish Shihab mengakhiri bahasan ini dengan kalimat reflektif: “Kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an memerintahkan kepada kita untuk makan yang halal dan thayyib, serta yang lezat tetapi baik akibatnya.”
Dalam kalimat itu terkandung keseimbangan antara sains dan iman. Halal menjaga hukum,
thayyib menjaga kualitas. Dan di antara keduanya, manusia diajak untuk tidak hanya makan dengan mulutnya, tetapi juga dengan kesadarannya.
Mungkin di sinilah letak perbedaan antara makan untuk hidup dan hidup untuk makan: yang pertama membebaskan, yang kedua menjerat.
(mif)