LANGIT7.ID- Dalam bahasa Arab, kata qalb berasal dari akar yang berarti “membalik”—sebuah simbol yang pas untuk menggambarkan sifat hati manusia yang mudah berbolak-balik: sekali lembut, sekali keras; sekali ridha, lalu resah. Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan) menulis, qalb adalah cermin batin manusia yang senantiasa berubah, tempat segala rasa, keyakinan, dan kesadaran bersemayam.
Al-Qur’an menggambarkan qalb sebagai wadah dinamis. Dalam QS Qaf [50]: 37 disebutkan, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu.”
Dalam ayat lain, ia menjadi tempat kasih sayang (QS Al-Hadid [57]: 27), rasa takut (QS Ali ‘Imran [3]: 151), dan keimanan (QS Al-Hujurat [49]: 7).
Dari deretan ayat itu, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa qalb menampung hal-hal yang disadari pemiliknya—berbeda dari nafs, yang menyimpan isi bawah sadar manusia. Karena itu, yang dimintai pertanggungjawaban oleh Allah bukanlah isi nafs, melainkan isi qalb: “Allah menuntut tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh kalbu kamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 225)
Namun, dalam kedalaman pengetahuannya, Allah “lebih mengetahui apa yang terdapat dalam nafs” (QS Al-Isra’ [17]: 25).
Kotak dalam Kotak
Quraish Shihab menggambarkan qalb sebagai “kotak kecil” yang berada di dalam “kotak besar” bernama nafs. Ia dapat diisi atau dikosongkan, dilebarkan atau disempitkan. Al-Qur’an menyinggung keadaan ini dalam banyak ayat:
“Kami cabut dari kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka menjadi bersaudara.” (QS Al-Hijr [15]: 47)
“Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu.” (QS Al-Hujurat [49]: 14)
“Allah telah mengunci mati kalbu mereka.” (QS Al-Baqarah [2]: 7)
Kalbu, tulis Quraish Shihab, bisa melebar karena amal kebajikan dan olah jiwa, atau menyempit karena dosa dan kelalaian. “Siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, dijadikan dadanya sempit lagi sesak,” (QS Al-An’am [6]: 125). Sebaliknya, hati yang diluaskan oleh takwa akan menjadi lapang bagi cahaya ilahi.
Untuk menjelaskan hubungan antara hati dan pengetahuan, Quraish Shihab mengutip perumpamaan Imam Al-Ghazali: “Kalbu bagaikan kolam di tanah. Ia bisa diisi air sungai dari atas—yakni pancaindra dan pengalaman—atau dengan menggali tanah yang menutup mata air dari bawah, yang airnya lebih jernih.”
Air sungai melambangkan pengetahuan empiris; air mata air adalah pengetahuan ruhani. Jika tanah—yakni noda hati—dibersihkan, maka pengetahuan sejati akan memancar dari dalam diri.
Hati Sebagai Alat dan Tempat
Dalam beberapa ayat, qalb berfungsi sebagai alat untuk memahami. “Mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak digunakan untuk memahami,” (QS Al-A’raf [7]: 179). Dalam konteks lain, Al-Qur’an menggunakan istilah fu’ad (hati yang berpikir), seperti pada QS Al-Nahl [16]: 78: “Dia memberikanmu pendengaran, penglihatan, dan banyak hati agar kamu bersyukur.”
Dengan demikian, qalb tidak hanya wadah rasa, tetapi juga alat kognitif yang menangkap kebenaran—melalui pengetahuan lahir maupun batin.
Satu ayat yang sarat makna, dikutip Quraish Shihab dari QS Al-Anfal [8]: 24: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya.”
Maknanya, Allah sepenuhnya menguasai hati manusia. Ia mampu menenangkan yang resah, melunakkan yang keras, dan memalingkan arah yang sesat. Karena itu, ketika hati terasa gelisah, Al-Qur’an mengajarkan, “Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Al-Ra’d [13]: 28)
Qalb, Cermin dari Kejernihan Jiwa
Bagi Quraish Shihab, kebersihan qalb adalah pintu utama menuju pengetahuan dan kebahagiaan. Ia bukan sekadar organ spiritual, melainkan pusat kesadaran yang menuntun manusia memahami makna hidup. Hati yang bersih memantulkan kebenaran, sedangkan hati yang kotor membiaskan cahaya Ilahi.
Di akhir tafsirnya, Quraish Shihab menutup dengan renungan lembut: “Kalbu dapat berubah—seperti air yang mudah bergolak. Maka jagalah ia dengan zikir, karena hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.”
