LANGIT7.ID – Tak seperti roh atau qalb, kata ‘aql (akal) tak pernah muncul sebagai kata benda dalam Al-Qur’an. Yang muncul hanyalah bentuk kerjanya — berpikir, memahami, merenung. “Al-Qur’an,” tulis Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan), “menggunakan kata itu bukan untuk menunjukkan sesuatu yang dimiliki, tapi sesuatu yang dilakukan.”
Secara bahasa, ‘aql berasal dari akar kata yang berarti “tali pengikat”. Akal, dengan demikian, adalah daya yang mengikat manusia agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan dosa. Bukan hanya kemampuan berpikir, melainkan juga pengendali moral.
Dalam Al-Qur’an, fungsi akal tampak dalam berbagai bentuk. Pertama, sebagai daya memahami dan menggambarkan sesuatu. “Demikianlah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia,” firman Allah dalam QS Al-‘Ankabut [29]: 43, “tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang berilmu.” Akal, dalam konteks ini, menjadi instrumen untuk menembus makna di balik ciptaan — langit, bumi, pergantian siang dan malam (QS Al-Baqarah [2]: 164) — tanda-tanda kebesaran Allah bagi “orang-orang yang berakal.”
Kedua, akal adalah dorongan moral. Ia tak berhenti pada pengetahuan, tetapi melahirkan kesadaran etis. “Janganlah kamu mendekati perbuatan keji,” firman-Nya dalam QS Al-An’am [6]: 151, “semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya.” Dalam konteks ini, akal bukan sekadar rasionalitas, tapi kekuatan batin yang menggerakkan manusia menuju kebajikan.
Ketiga, akal mencakup daya mengambil pelajaran dan hikmah — yang dalam Al-Qur’an disebut rusyd. Di sinilah letak kesempurnaannya: perpaduan antara nalar yang tajam dan hati yang bersih. Orang yang ber-‘aql sejati bukan hanya mampu menalar, tapi juga mampu menahan diri.
“Seandainya kami mendengar dan berakal,” ujar penghuni neraka dalam QS Al-Mulk [67]: 10, “niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka.” Ayat ini, kata Quraish Shihab, menegaskan bahwa akal sejati menuntun manusia menuju keselamatan — bukan sekadar kecerdasan, melainkan kebijaksanaan yang berakar pada kesadaran moral.
Bagi Quraish Shihab, akal dalam pandangan Al-Qur’an bukanlah mesin berpikir bebas nilai. Ia tali pengikat antara ilmu dan iman, antara daya nalar dan suara hati. Tanpa itu, ilmu bisa menjadi bumerang, dan pengetahuan kehilangan arah. “Akal,” tulisnya, “adalah cahaya yang menerangi, tapi juga tali yang menahan.”
Sebuah keseimbangan yang semakin langka di dunia yang gemar berpikir, tapi jarang merenung.
