LANGIT7.ID – Di tengah dunia yang sering menempatkan religiusitas di hadapan kesederhanaan ekstrem dan menjauhi simbol keindahan, hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim terasa seperti penegasan moral yang lembut namun revolusioner: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.”
Kalimat itu tak sekadar pesan spiritual, melainkan juga penanda bahwa Islam menempatkan estetika—baik dalam penampilan, arsitektur, maupun moral—sebagai bagian dari ibadah. Di tangan Nabi, keindahan tak berhenti pada rupa, tapi berakar pada sikap: menolak kesombongan, mencintai kebenaran, dan memperlakukan manusia dengan kasih.
Riwayat Ibnu Mas’ud dalam Shahih Muslim menjelaskan konteks yang sering disalahpahami. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi: apakah kecintaan pada pakaian dan sandal yang bagus termasuk kesombongan? Nabi menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Allah itu indah, dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Syaikh Yusuf al-Qardhawi, dalam
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Citra Islami Press, 1997), menafsirkan hadis ini sebagai keseimbangan antara spiritualitas dan estetika. “Islam tidak memerintahkan hidup dalam kejorokan atau berpakaian lusuh demi kesalehan,” tulisnya. “Justru, Islam memerintahkan kebersihan, kerapian, dan keindahan sebagai manifestasi iman.”
Keindahan dalam pandangan Islam, kata Qardhawi, bukan soal pamer, tapi keselarasan antara lahir dan batin—antara busana yang rapi dan hati yang tunduk.
Dari Ruhani ke Ruang PublikDalam sejarah Islam, pesan ini menemukan bentuk dalam kebudayaan. Arsitektur masjid di Andalusia, Persia, hingga Nusantara menunjukkan bagaimana keindahan menjadi bahasa ketuhanan. Titus Burckhardt, dalam
Art of Islam: Language and Meaning (World of Islam Festival Publishing, 1976), menyebut seni Islam sebagai “pencarian harmoni antara bentuk dan makna.” Ornamen-ornamen geometris dan kaligrafi bukan hiasan kosong, tetapi meditasi visual atas keteraturan ciptaan Allah.
Bahkan dalam dunia tasawuf, keindahan dipandang sebagai jalan menuju ma’rifat (pengenalan kepada Tuhan). Jalaluddin Rumi, dalam Mathnawi, menulis: “Keindahan adalah cermin Tuhan di dunia. Barang siapa mencintai keindahan, sesungguhnya ia sedang mencintai Sang Pencipta.”
Menolak Asketisme yang KeringNamun, tafsir tentang keindahan sering kali berbenturan dengan pandangan asketik—bahwa zuhud (kesederhanaan) harus berarti menolak dunia dan penampilannya. Pandangan ini dikritik oleh ulama seperti Imam Al-Ghazali. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti berpakaian buruk, tetapi tidak menjadikan harta dan penampilan sebagai tujuan. “Boleh jadi seseorang memakai pakaian bagus, namun hatinya tidak terikat padanya,” tulisnya, “dan itulah zuhud yang sejati.”
Pandangan serupa diulang oleh Hamka dalam Tasawuf Modern (Pustaka Panjimas, 1983). “Keindahan adalah tanda hidupnya jiwa,” tulisnya. “Agama yang menolak keindahan akan kehilangan daya tarik spiritualnya.”
Dalam konteks kekinian, hadis ini menantang cara pandang sebagian umat yang menganggap kesalehan harus tampil dalam bentuk kesuraman. Padahal, Islam memuliakan kebersihan, keseimbangan, dan rasa hormat terhadap penampilan diri. Nabi sendiri dikenal selalu rapi, memakai minyak wangi, dan merapikan jenggotnya.
Estetika dalam Islam, karenanya, bukan sekadar selera, melainkan akhlak. Seperti yang ditegaskan Sayyed Hossein Nasr dalam
The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity (HarperCollins, 2002), “Keindahan adalah refleksi dari kebenaran. Hilangnya rasa estetika berarti hilangnya rasa spiritual.”
Keindahan yang Membawa ImanPesan Nabi bahwa “Allah itu indah dan mencintai keindahan” menegaskan bahwa iman tak harus gelap dan kaku. Ia bisa hadir dalam warna, cahaya, dan harmoni. Keindahan bukan musuh takwa, melainkan jalannya.
Keindahan yang dimaksud bukan sekadar rupa, tapi kebenaran yang hidup dalam diri manusia—sebuah kecantikan yang tak berhenti di mata, tapi menembus ke dalam hati.
Seperti sabda Nabi, “Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tapi melihat hati dan amal kalian.”
Dan di sanalah, keindahan sejati itu bersemayam: dalam hati yang bersih, dalam kebenaran yang diterima dengan rendah hati.
(mif)