LANGIT7.ID- Di tengah gegap-gempita ekonomi global yang dipacu kapitalisme dan sosialisme, Islam sesungguhnya telah menanamkan fondasi ekonomi yang matang lebih dari 12 abad silam. Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama Mesir terkemuka, menulis bahwa Islam bukan hanya sistem spiritual, tapi juga panduan ekonomi yang menegakkan keseimbangan antara individu, masyarakat, dan Tuhan.
Dalam sistem materialis kapitalistik, manusia dibiarkan sepenuhnya bebas: memiliki, memperkaya diri, dan membelanjakan hartanya tanpa batas. Negara dan moral publik hanya menjadi bayang-bayang. “Setiap individu bebas memiliki dan menafkahkan hartanya tanpa aturan,” tulis Qardhawi. Hasilnya, hukum pasar mengalahkan hukum nurani.
Sosialisme, di sisi lain, menghapus kepemilikan pribadi dan menjadikan negara sebagai satu-satunya pemilik sumber daya. Individu menjadi roda kecil dalam mesin besar kekuasaan. Karl Marx menyeru, “Kaum buruh sedunia, bersatulah!”—namun yang berkuasa justru segelintir elit partai dan militer. Lenin bahkan pernah menulis: “Tak mengapa membunuh tiga perempat penduduk dunia agar sisanya menjadi Sosialis.”
Islam, kata Qardhawi, menempuh jalan tengah. Ia mengakui hak milik pribadi sebagai fitrah manusia sekaligus amanah sosial. Harta boleh dimiliki, tapi tidak boleh dipertuhankan. Negara berhak mencabut kepemilikan yang bertentangan dengan kemaslahatan umum. “Harta itu hak Allah,” tulisnya, “manusia hanyalah khalifah yang diberi amanah untuk mengelola.”
Batas pada Kepemilikan dan Hati NuraniBerbeda dari kapitalisme yang menuhankan kebebasan atau sosialisme yang meniadakan hak milik, Islam menempatkan ekonomi dalam bingkai moral dan hukum ilahi. Qardhawi menekankan bahwa setiap aktivitas ekonomi harus disinari kesadaran spiritual—kesadaran akan pengawasan Allah. Larangan riba, penimbunan, penipuan, dan monopoli bukan sekadar etika dagang, tapi mekanisme penyelamat dari kerakusan manusia.
“Islam menjadikan hati nurani seorang Muslim melihat Al-Khaliq sebelum makhluq,” tulis Qardhawi. Prinsip ini melahirkan konsep *istikhlaf*—pemahaman bahwa manusia hanyalah pengelola, bukan pemilik mutlak.
Sosialisme, menurut Qardhawi, menumpas kebebasan berpikir dengan dalih revolusi. Kritik dianggap pengkhianatan. “Sistem ini hidup di bawah bayang-bayang tekanan politik dan teror pemikiran,” tulisnya.
Sebaliknya, Islam berdiri di atas musyawarah dan amar ma’ruf nahi munkar—menasihati penguasa tanpa menyalakan api pemberontakan. Nabi Muhammad SAW mengajarkan, “Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Prinsip ukhuwah ini, bagi Qardhawi, lebih tinggi nilainya daripada shalat atau puasa sunnah.
Relevansi untuk Dunia ModernKini, di tengah krisis kesenjangan global, kehausan spiritual kapitalisme, dan kebuntuan sistem sosialis, sistem ekonomi Islam kembali menjadi bahan kajian serius. Ia menawarkan etika kemanusiaan dalam pasar yang kehilangan arah: keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab, antara efisiensi dan keadilan sosial.
Dalam konteks ini, pandangan Qardhawi terasa seperti peta moral untuk dunia ekonomi modern—mengingatkan bahwa kemakmuran tanpa keimanan hanyalah ilusi. Bahwa pembangunan yang melupakan amanah dan keadilan bukan kemajuan, melainkan bentuk lain dari kerusakan.
Seperti ditegaskan Al-Qur’an dalam Surah Al-Hasyr ayat 7: “Agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
Islam menolak ekstrem kanan dan kiri. Ia berdiri tegak di tengah—di jalan keseimbangan. Jalan yang kini, di dunia serba liberal dan serba kontrol, terasa semakin sepi.
(mif)