LANGIT7.ID-Dalam pandangan Islam, perbedaan nasib ekonomi bukanlah kecelakaan sosial, melainkan bagian dari tatanan ilahi. Allah menegaskan dalam surah An-Nahl ayat 71: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki...”
Perbedaan ini, tulis Syaikh Yusuf Qardhawi dalam
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Citra Islami Press, 1997), bukan sekadar permainan nasib. Ia adalah mekanisme yang membuat kehidupan “tegak dan teratur.” Tanpa perbedaan kemampuan dan peran, dunia akan lumpuh—tak ada yang memimpin, tak ada yang bekerja.
Qardhawi menggambarkan kehidupan seperti pabrik raksasa. Di dalamnya, setiap orang punya fungsi: pemimpin, karyawan, pengawas, hingga pelayan. Semua penting agar “mesin kehidupan bisa beroperasi dan produktif.”
Namun Islam tidak berhenti di pengakuan atas perbedaan. Sistem ini, kata Qardhawi, menolak ketimpangan ekstrem yang menjadikan harta hanya berputar di tangan segelintir orang. Ia mengutip firman Allah dalam Az-Zukhruf ayat 32: “Kami telah membagi penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain...”
Yang dimaksud “mempergunakan” bukanlah eksploitasi, melainkan kerja sama administratif—relasi sosial yang adil dan saling bergantung. Karenanya, Islam menetapkan berbagai mekanisme untuk mengurangi jarak antara si kaya dan si miskin, demi menjaga
tawazun atau keseimbangan sosial.
Lima Pilar Keadilan Ekonomi IslamPertama, pembatasan cara memperoleh kekayaan. Islam melarang riba, penimbunan, penipuan, dan perdagangan haram. Pembatasan ini, tulis Qardhawi, “menutup jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.”
Kedua, kewajiban zakat. Zakat bukan sekadar ibadah, tapi sistem distribusi hak milik. Imam Nawawi menegaskan, zakat diberikan hingga penerimanya “memperoleh kecukupan secara umum.” Seorang pedagang boleh diberi modal, petani diberi lahan, dan pekerja diberi alat—agar bisa mandiri, bukan bergantung.
Ketiga, kewajiban sosial di luar zakat: menafkahi kerabat, menolong tetangga, memberi makan yang lapar, hingga membantu korban musibah. Rasulullah SAW memperingatkan, “Tidak beriman kepadaku orang yang kenyang, sementara tetangganya kelaparan di sisinya.” (HR. Thabrani dan Hakim)
Keempat, sistem waris dan wasiat. Islam mengatur distribusi harta agar tidak terkonsentrasi di satu tangan. Ayat Al-Baqarah 180 menegaskan kewajiban wasiat bagi kerabat, sebagai bentuk perlindungan sosial setelah seseorang wafat.
Kelima, intervensi negara. Rasulullah SAW sendiri memberi contoh saat membagi harta rampasan perang (
fai’) Bani Nadhir hanya kepada kaum Muhajirin, karena kondisi mereka lebih membutuhkan. Tujuannya jelas: “supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (Al-Hasyr: 7).
Keadilan dalam Islam, menurut Qardhawi, bukanlah keseragaman. Ia meniscayakan perbedaan, tetapi juga menuntut tanggung jawab. Orang kaya tidak boleh bermegah, orang miskin tidak boleh dibiarkan. Negara tidak sekadar penonton, melainkan penjaga keseimbangan.
Dalam dunia modern yang diwarnai kesenjangan ekstrem, pesan Qardhawi terasa seperti panggilan etis dari masa lalu: bahwa keadilan sejati tidak menolak perbedaan, melainkan mengaturnya agar setiap manusia tetap punya tempat, dan hidup tetap berjalan dengan harmoni.
(mif)