LANGIT7.ID-Di antara deretan angka-angka yang menumpuk dalam tabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, mungkin terselip sesuatu yang lebih halus dari sekadar nominal—soal moral.
Dalam satu bab dari
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis bahwa kesederhanaan bukan hanya perkara pribadi, tapi juga prinsip publik. “Apabila kesederhanaan itu dituntut dalam pengeluaran seseorang terhadap dirinya,” tulisnya, “maka ia juga dituntut dalam anggaran belanja negara.”
Bagi Qardhawi, anggaran adalah cermin etika kekuasaan. Ia menuntut agar imam kaum Muslimin—dalam konteks modern, kepala negara—menjadi uswah, teladan dalam berhati-hati menggunakan uang rakyat.
Al-Qardhawi mengingatkan pada figur Rasulullah SAW yang, dalam sejarah, dikenal menolak kemewahan bahkan ketika mampu mendapatkannya. “Rasulullah tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut,” ujar Aisyah RA, sebagaimana diriwayatkan Baihaqi. Abu Hurairah menambahkan, Nabi wafat “tanpa pernah kenyang dari roti gandum” (HR. Bukhari dan Tirmidzi).
Di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, prinsip itu diterjemahkan lebih administratif: “Saya dengan harta ini tidak lain kecuali seperti wali anak yatim,” katanya. Sebuah bentuk audit moral—sebelum ada BPK, sebelum muncul jargon transparansi fiskal.
Kritik Lama yang Masih RelevanDua puluh delapan tahun setelah buku Qardhawi terbit, pesan itu tetap menggema di ruang publik Indonesia. Di tengah sorotan pada pemborosan anggaran perjalanan dinas, pembangunan gedung baru lembaga negara, hingga subsidi energi yang tak tepat sasaran, narasi kesederhanaan menjadi semakin langka.
Al-Qardhawi seolah berbicara pada masa kini ketika menulis, “Banyak pemimpin mengira harta negara adalah milik mereka, sehingga mereka pergunakan semaunya.” Ia menyindir lembaga-lembaga yang gemar berfoya, dari penerangan hingga kemiliteran, yang menurutnya sering “tak tersentuh pengawasan”.
Sementara itu, sektor publik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat—pendidikan, kesehatan, transportasi—justru sering “diperketat anggarannya”.
Dalam bahasa ekonomi modern, ini adalah ketimpangan prioritas. Dalam bahasa Qardhawi, “Ketika kepentingan sekunder didahulukan dari yang primer, maka rusaklah keseimbangan masyarakat.”
Moralitas FiskalBagi Qardhawi, ukuran kemajuan negara Islam bukan pada megahnya istana atau panjangnya iring-iringan kendaraan pejabat, melainkan pada seberapa adil anggaran dibelanjakan. “Rasulullah menolak bantal empuk,” tulisnya, “dan Umar berhati-hati seperti wali anak yatim.”
Kesederhanaan, dalam pandangan ini, bukan gaya hidup minimalis, melainkan strategi keadilan sosial. Ia memastikan bahwa kemewahan segelintir orang tak menelan kebutuhan banyak orang.
Barangkali, bila prinsip ini benar-benar dijalankan, APBN tak lagi sekadar dokumen fiskal tahunan, melainkan juga teks etika: sebuah pengingat bahwa uang publik bukan milik pejabat, tapi amanah.
(mif)