LANGIT7.ID-Di ruang seminar ekonomi modern, perdebatan tentang kapitalisme dan sosialisme tak pernah benar-benar selesai. Satu pihak menuhankan kebebasan individu, yang lain mengagungkan kendali negara. Di antara dua ekstrem itu, Islam berdiri dengan sistem yang lebih tua namun terasa lebih relevan: keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara materi dan moral, antara dunia dan akhirat.
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah menulis dengan tegas: “Dasar sistem Islam bukan buatan manusia, melainkan ketentuan Allah yang Maha Mengetahui, yang menginginkan bagi hamba-Nya kemudahan, bukan kesulitan.” Kalimat ini membuka jalan bagi pemahaman bahwa ekonomi Islam bukan sekadar teori finansial, melainkan cermin dari visi ketuhanan tentang keadilan sosial.
Berbeda dari sistem materialis yang menjadikan harta sebagai pusat hidup dan ukuran nilai manusia, Islam memandang ekonomi sebagai sarana untuk mencapai ketenangan batin dan ibadah yang khusyuk. Al-Qardhawi mengutip Surah Quraisy ayat 4: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”
Artinya, ekonomi dalam Islam tidak bertujuan menciptakan masyarakat kaya, tetapi masyarakat yang tenteram—yang bebas dari rasa lapar dan cemas, agar dapat mengenal Allah dengan lebih utuh. Kesejahteraan material hanyalah tangga menuju kesejahteraan spiritual.
Dalam sistem materialis, orientasi ekonomi sering kali berhenti pada angka pertumbuhan dan grafik produktivitas. Qardhawi menilai sistem seperti itu “menjadikan dunia sebagai Firdaus yang diinginkan.” Dalam Islam, surga tidak diukur dengan saldo, tetapi dengan akhlak dan keseimbangan.
Ekonomi Bernurani Islam tidak menolak keuntungan, tetapi menolak keuntungan yang menafikan moral. Judi, riba, minuman keras, dan penipuan—semua dilarang bukan karena merugikan kas negara, tetapi karena merusak manusia. Qardhawi menulis, “Adapun manfaat keduanya dari segi ekonomi sama sekali tidak perlu diperhitungkan.” Ia mengutip Surah Al-Baqarah ayat 219: “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”
Islam bahkan rela mengorbankan potensi ekonomi demi menjaga kesucian akidah. Ketika Allah melarang kaum musyrik memasuki Masjidil Haram, larangan itu menutup keuntungan ekonomi dari perdagangan Makkah. Namun Al-Qur’an menegaskan, “Jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya.” (At-Taubah: 28).
Islam tidak berpihak kepada individu seperti kapitalisme, juga tidak menindas individu seperti sosialisme. “Islam,” tulis Qardhawi, “menjaga keseimbangan antara hak-hak pribadi dan kemaslahatan umum.” Ia menolak ekstremitas dua sistem itu: satu mengumbar hawa nafsu, satu menindas fitrah manusia.
Dalam Surah Ar-Rahman ayat 8-9, Allah menegaskan: “Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.”
Itulah prinsip dasar ekonomi Islam—keadilan yang mengukur bukan hanya barang dan jasa, tapi juga nurani.
Ruh dari Sistem yang Ilahi Islam melihat manusia bukan sebagai mesin produksi, tetapi sebagai hamba sekaligus khalifah. Dalam pandangan Qardhawi, Allah adalah “Rabb bagi aghniya’ dan fuqara’, Rabb bagi pemilik dan penyewa.” Ia menciptakan sistem yang adil karena kasih-Nya lebih besar dari kasih seorang ibu kepada anaknya.
Dengan fondasi ini, sistem ekonomi Islam berdiri bukan di atas hukum pasar atau keputusan partai, melainkan pada kesadaran bahwa harta adalah amanah, bukan milik mutlak. Maka tujuan ekonomi Islam bukan hanya menciptakan kemakmuran, tapi menjaga agar manusia tak tersesat di tengah kemakmuran itu.
Seperti ditutup Qardhawi dengan kutipan Al-Ma’idah ayat 50: “Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin.”
Dalam dunia yang terus mengejar pertumbuhan dan laba, sistem ekonomi Islam mengingatkan bahwa keseimbangan sejati tidak ditemukan di grafik pendapatan nasional, melainkan di hati manusia yang menimbang dengan keadilan dan iman.
(mif)