LANGIT7.ID-Dalam kehidupan modern yang sibuk dan bising, kepekaan terhadap keindahan kerap memudar. Alam dilihat hanya sebagai sumber daya, bukan sumber rasa. Padahal, bagi seorang mukmin, menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, melihat keindahan adalah bagian dari iman itu sendiri.
Dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Citra Islami Press, 1997), Qardhawi menulis: “Al-Qur’an ingin menanamkan dalam pikiran setiap mukmin dan di dalam hatinya rasa keindahan yang terbentang di seluruh penjuru dunia.”
Ayat-ayat yang dikutipnya bukan sekadar ajakan untuk merenungi ciptaan, tapi undangan untuk merasakan—menghidupkan jiwa estetika yang terhubung dengan Sang Pencipta. “Maka apakah mereka tidak melihat langit di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya…” (Qaaf: 6).
Ayat ini, bagi Qardhawi, mengandung dua lapisan makna: ilmiah dan estetis. Langit yang tanpa retak adalah bukti keteraturan, tapi juga simbol kesempurnaan artistik ciptaan Tuhan.
Begitu pula ayat Al-Hijr:16, “Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang dan menghiasinya bagi orang-orang yang memandangnya.”
Langit malam, bagi seorang mukmin, bukan hanya panorama kosmik, melainkan ruang tafakur. “Dan Kami hamparkan bumi dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata.” (Qaaf: 7).
Qardhawi mengutip ayat ini untuk menegaskan bahwa kecintaan pada alam bukan sekadar romantisme, tetapi bentuk kesadaran spiritual. Tanaman, hewan, hingga manusia diciptakan dengan harmoni yang menyiratkan Al-Jamil—Allah yang Maha Indah.
Keindahan sebagai Refleksi Ketuhanan
“Dia-lah yang memberi rupa kamu dengan sebaik-baik rupa.” (At-Taghaabun: 3).
Dalam pandangan Qardhawi, keindahan manusia adalah cermin kasih sayang Allah, bukan kesombongan bentuk. Setiap simetri, warna, dan gerak di alam semesta adalah “tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (An-Nahl: 11).
Ayat-ayat ini menumbuhkan rasa takjub—bukan sekadar pengakuan intelektual, tapi pengalaman estetis yang memperkuat keimanan. “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan,” sabda Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim).
Dengan begitu, mencintai keindahan bukanlah kemewahan spiritual, melainkan manifestasi tauhid: melihat kesempurnaan ciptaan sebagai bukti kesempurnaan Sang Pencipta.
Bagi Qardhawi, rasa keindahan bukan hanya untuk dinikmati, tetapi untuk dijaga. Seorang mukmin yang peka terhadap keindahan langit, laut, dan bumi tidak akan tega merusaknya. Ia melihat tangan Allah dalam setiap harmoni alam. “Dia memperbagus segala sesuatu yang Dia ciptakan.” (As-Sajdah: 7).
Kalimat itu, bagi Qardhawi, adalah prinsip ekoteologis: manusia harus memelihara dunia karena keindahannya adalah ayat Tuhan yang terbuka.
Pemikir Islam kontemporer seperti Seyyed Hossein Nasr menegaskan hal senada dalam Man and Nature (1976): “Ketika manusia berhenti melihat alam sebagai refleksi Ilahi, ia mulai mengeksploitasinya tanpa batas.”
Keindahan Sebagai Jalan Menuju Allah
Dalam tradisi Islam, keindahan adalah jalan menuju pengenalan Ilahi. Seperti kata Jalaluddin Rumi, “Keindahan adalah cermin di mana engkau melihat wajah Tuhan.”
Qardhawi mengajak umat Islam untuk kembali menatap dunia dengan mata hati: melihat gunung, laut, langit, dan manusia bukan sebagai objek, tapi sebagai ayat. “Orang yang beriman,” tulisnya, “melihat di dalam keindahan makhluk ciptaan Allah tanda-tanda keindahan Allah itu sendiri.”
Di zaman yang kian kehilangan rasa takjub, mungkin inilah makna iman yang paling sunyi: memandang dunia, lalu berbisik lirih, Subhanallah.
