LANGIT7.ID-Di sebuah ruang studi di Kairo pada awal abad ke-20, Muhammad Thahir bin 'Asyur menuliskan tafsirnya tentang kata
libasut taqwa. Ia menimbang perbedaan qiraat, menganalisis makna, dan menunjukkan bahwa pakaian bukan sekadar kain, tetapi juga perangkat bahasa. Bahasa moral, bahasa perlindungan, bahkan bahasa sosial. Delapan puluh tahun kemudian, Prof. Dr. M. Quraish Shihab memperdalam gagasan itu dalam
Wawasan Al-Qur’an: pakaian adalah perangkat simbol yang merentang dari tubuh ke ruang sosial.
Narasi tentang fungsi pakaian jauh mendahului keduanya. Surah Al-A’raf ayat 26 menyebut pakaian sebagai penutup aurat sekaligus perhiasan. Dua peran dasar yang sederhana, tetapi justru melahirkan beragam interpretasi sejak masa-masa awal Islam. Para mufasir seperti Al-Tabari hingga mufasir kontemporer memandang ayat ini sebagai pilar awal etika berpakaian: tubuh manusia bukan objek yang bebas dipertontonkan, dan keindahan bukan dosa selama berada dalam bingkai martabat.
Yang menarik, sebagian ulama mendeteksi fungsi ketiga: pakaian sebagai perangkat takwa. Dalam pandangan Thahir bin 'Asyur, yang dirujuk Quraish Shihab, bacaan libasa—dengan nashab—menjadikan pakaian takwa sebagai sesuatu yang fisik, mirip baju zirah yang menjaga pemakainya dari luka. Makna ini selaras dengan QS Al-Nahl ayat 81 yang menyebut pakaian sebagai pelindung dari panas, dingin, dan bahaya perang. Pakaian, dalam tradisi Al-Qur’an, adalah teknologi keselamatan.
Akan tetapi, lapisan makna tak berhenti di sana. Fungsi identitas muncul dari QS Al-Ahzab ayat 59: jilbab yang diulurkan bukan hanya untuk menutup tubuh, tetapi menjadi penanda sosial bahwa perempuan Muslim tidak diperlakukan semena-mena. Identitas dalam bentuk pakaian bukan monopoli Timur.
Antropolog seperti Joanne Eicher dan Mary Ellen Roach-Higgins mencatat dalam Dress and Identity (1992) bahwa pakaian selalu bekerja sebagai perangkat tanda—yang mengomunikasikan status, afiliasi, bahkan resistensi.
Dari sini, pakaian berubah dari benda pribadi menjadi institusi sosial.
Ketika Quraish Shihab mengurai makna aurat dan kata sau-at yang berarti keburukan dalam konteks keterlihatan, ia menggemakan pandangan para fukaha klasik bahwa tubuh manusia pada dasarnya baik. Keburukan muncul bukan dari tubuh, melainkan dari konteks sosialnya.
Di sinilah, larangan membuka aurat, anjuran menjaga kebersihan, dan perintah berhias secukupnya menemukan relevansi. Hadis-hadis tentang larangan bertelanjang di hadapan malaikat atau anjuran memelihara kuku adalah bagian dari etika kehadiran manusia di ruang sosial.
Dalam catatan sejarah, pakaian juga menjadi penanda kelas sosial. Hugh Kennedy dalam
The Prophet and the Age of the Caliphates menggambarkan bagaimana pada masa awal Islam, sutera dan emas menjadi simbol status sehingga dilarang bagi lelaki. Bukan semata hukum keras, melainkan juga penegasan bahwa komunitas baru ini ingin membangun etika kesederhanaan. Pendekatan ini sejalan dengan kajian Patricia Crone dan Michael Cook tentang asketisasi masyarakat Muslim awal.
Namun Thahir bin 'Asyur mengingatkan: tidak semua larangan Rasulullah adalah hukum mutlak. Dalam
Maqashid Asy-Syari’ah, ia mencontohkan larangan mengenakan jenis pakaian tertentu yang sebenarnya lebih dekat pada tuntunan moral—agar umat tidak terjebak gaya hidup berlebihan—ketimbang ketetapan hukum. Di bidang pakaian, batas antara etika dan hukum memang tidak selalu tegas.
Perhiasan, dalam perspektif Al-Qur’an, tidak dilarang. Ayat 7:31 justru memerintahkan manusia untuk berhias ketika memasuki masjid. Nabi Muhammad pun memuji keindahan dan kerapian. Tetapi keindahan memiliki pagar: tidak menimbulkan
tabarruj al-jahiliyah, istilah yang mencakup segala bentuk tampilan yang merangsang atau menarik perhatian secara berlebihan.
Larangan memakai parfum menyengat di ruang publik, melangkah dengan memamerkan perhiasan, atau berbicara dengan nada menggoda yang disebut dalam Al-Ahzab ayat 32 menunjukkan bahwa pakaian tidak berdiri sendiri—ia bagian dari cara seseorang hadir di ruang sosial.
Dalam diskursus modern, teori performativitas identitas yang dipopulerkan Judith Butler memberi cermin bahwa busana adalah tindakan sosial: identitas dibentuk setiap hari melalui cara seseorang berpenampilan. Tafsir Al-Qur’an berjumpa dengan teori sosial modern pada titik ini: pakaian bukan sekadar kain, melainkan performa moral.
Di era global saat ini, busana kembali menjadi arena tarik menarik. Nilai estetika, norma agama, pasar mode, hingga politik identitas bertubrukan dalam ruang yang sama. Tetapi ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan satu garis merah: pakaian adalah medium yang secara simultan menutup, menjaga, menghias, dan membedakan. Dari masa Nabi hingga kini, pakaian tetap menjadi ruang negosiasi antara moralitas, budaya, dan keindahan.
Empat belas abad kemudian, makna pakaian masih terus ditafsirkan ulang. Sama seperti manusia yang memakainya: selalu berubah, selalu mencari bentuk terbaiknya.
(mif)