LANGIT7.ID- Di banyak kota Muslim hari ini, dari Jakarta hingga Tunis, keragaman cara berjilbab telah menjadi lansekap sosial yang biasa. Namun perdebatan hukumnya tak surut. Dari forum pesantren sampai ruang editorial, persoalan batas aurat terus memantik silang pendapat. Di antara suara yang jarang terangkat, terdapat pandangan ulama kontemporer yang menawarkan pembacaan lebih lentur terhadap teks-teks Al-Qur’an dan hadis. Salah satu yang menonjol adalah Muhammad Thahir bin Asyur, ulama besar Tunisia yang otoritas keilmuannya diakui luas.
Dalam Maqashid Al-Syari’ah, Bin Asyur menulis tegas bahwa adat satu masyarakat tidak dapat dipaksakan kepada masyarakat lain atas nama agama. Ia mengutip QS Al-Ahzab 33:59, ayat tentang jilbab yang sering menjadi rujukan utama.
Menurutnya, perintah agar perempuan Mukminah mengulurkan jilbab adalah ajaran yang mempertimbangkan adat Arab pada masa Nabi. Karena itu, bangsa yang tidak mengenal tradisi berjilbab tidak otomatis terikat oleh bentuk kultural yang sama.
Dalam Tafsir At-Tahrir jilid XXII, ia merinci bahwa cara memakai jilbab selalu berbeda sesuai kebutuhan dan adat tiap masyarakat. Yang menjadi tujuan utama, tulisnya, hanyalah agar perempuan dikenali sebagai perempuan baik sehingga tidak diganggu.
Pandangan ini mempersoalkan satu asumsi yang kerap diterima begitu saja: bahwa perintah tekstual selalu berarti perintah wajib dalam hukum fikih. Bin Asyur mengingatkan bahwa tidak semua redaksi perintah dalam Al-Qur’an bersifat mengikat. Perintah menulis transaksi hutang dalam QS Al-Baqarah 2:282, misalnya, dipahami sebagai anjuran kuat, bukan kewajiban mutlak. Hal serupa berlaku dalam sejumlah hadis yang bersifat perintah tetapi diarahkan sebagai kesunnahan, seperti larangan memakai emas dan sutra bagi laki-laki dalam konteks tertentu.
Dalam
Wawasan Al-Qur’an, Quraish Shihab mengutip pendekatan itu untuk mengingatkan bahwa batas aurat perempuan memang diperdebatkan para ulama sejak dulu. Karena Al-Qur’an sendiri tidak menyebut batas secara eksplisit, maka ruang ijtihad terbuka lebar. Yang mengenakan penutup tubuh dari kepala hingga kaki memang menjalankan teks secara maksimal, tulisnya. Namun tidak tepat jika mereka yang tidak menutup kepala atau memperlihatkan tangan langsung dinyatakan pasti melanggar petunjuk agama. Sebab, konsensusnya tidak bulat.
Kehati-hatian tetap diperlukan. Seperti pakaian lahir yang dapat menyiksa tubuh bila tidak sesuai bentuknya, pakaian batin pun dapat membebani jiwa bila aturan itu dipaksakan tanpa mempertimbangkan kemampuan dan jati diri seseorang. Pada akhirnya, Quraish Shihab menegaskan dua kaidah penting.
Pertama, Al-Qur’an dan Sunnah secara pasti melarang segala tindakan yang memicu rangsangan negatif antara lawan jenis. Tidak ada ruang kompromi di sini. Kedua, rangkaian ayat tentang pakaian dalam Al-Nur dan Al-Ahzab justru diakhiri dengan ajakan bertobat, penanda bahwa pelanggaran kecil atau besar dalam etika memandang dan berpakaian sulit dihindari manusia.
Ajakan bertobat itu, tulis Quraish Shihab, adalah ruang lapang bagi siapa pun yang tengah berproses. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang bagi mereka yang belum sepenuhnya mematuhi tuntunan, selama ada kesadaran untuk memperbaiki diri. Sebuah penutup yang menempatkan persoalan pakaian bukan semata urusan tekstual atau kultural, tetapi medan kesadaran moral yang tumbuh seiring perubahan zaman.
(mif)