Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 19 November 2025
home masjid detail berita

Halal dan Haram: Asal Segala Sesuatu Itu Diperbolehkan

miftah yusufpati Jum'at, 14 November 2025 - 05:53 WIB
Halal dan Haram: Asal Segala Sesuatu Itu Diperbolehkan
Dalam wacana hukum musik dan nyanyian, para ulama bertolak dari satu kaidah dasar: segala sesuatu asalnya boleh. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di ruang kajian fikih kontemporer, sebuah kaidah mengemuka sebagai fondasi yang kerap menjadi titik berangkat: al-ashlu fil asyya’ al-ibahah, segala sesuatu pada dasarnya boleh. Kaidah yang sudah dikenal sejak masa para sahabat itu kini kembali menjadi sorotan ketika perdebatan hukum musik dan nyanyian muncul dalam diskursus publik Muslim.

Sumber-sumber klasik mencatat fondasi kaidah tersebut tidak tipis. Dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Citra Islami Press, 1997), ulama besar Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengutip ayat Al-Baqarah 29: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” Ayat itu ditafsirkan para ahli hukum sebagai pengukuh bahwa hukum asal sesuatu adalah mubah, selama tidak ada teks yang secara tegas dan sahih melarangnya.

Dalam masyarakat Islam awal, kaidah ini menjadi pegangan praktis. Para ahli hukum seperti Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa menegaskan bahwa pelarangan hanya dapat berdiri di atas nash yang sharih—jelas, eksplisit, dan dapat diverifikasi. Tanpa itu, sesuatu tetap berada dalam wilayah “dimaafkan”.

Qardhawi mengutip Al-An’am 119: “Dan sungguh Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” Pesan ayat itu, menurutnya, memuat watak agama yang tidak membebani. Bila sesuatu tidak dijelaskan haram, maka ia tidak otomatis berada di wilayah terlarang.

Hadis-hadis yang dikutip Qardhawi memperkuat semangat ini. Antara lain riwayat Hakim dan Bazzar: “Apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Dia haramkan adalah haram, dan apa yang Dia diamkan maka itu dimaafkan.” Dalam riwayat lain oleh Daraquthni, Nabi menegaskan: “Allah mendiamkan berbagai hal karena kasih sayang kepada kalian, bukan lupa.”

Dari sinilah, sejumlah ulama kontemporer seperti Wahbah az-Zuhayli dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menyimpulkan bahwa hukum asal mubah adalah perisai agar umat tidak terjerumus pada sikap beragama yang serba membatasi tanpa dasar.

Ketika Musik Menjadi Perdebatan

Dengan kaidah “asal boleh”, perdebatan tentang nyanyian dan musik bukan langsung jatuh pada kategori haram. Qardhawi mempertanyakan: apa nash yang benar-benar otentik dan eksplisit melarang musik secara mutlak?

Di sinilah para ulama terbelah. Sebagian ulama klasik—di antaranya Ibn Hazm dalam al-Muhalla—berpendapat bahwa tidak ada satu pun nash sahih dan sharih yang melarang musik. Ibn Hazm bahkan menulis: “Segala riwayat yang mengharamkannya tidak ada yang sahih.” Ia menegaskan bahwa kesenian yang tidak mengandung unsur maksiat pada konten dan konteksnya tetap berada dalam kategori mubah.

Sebaliknya, spektrum yang lebih ketat, seperti yang diwakili al-Ghazali dalam sebagian pandangannya di Ihya’ Ulumuddin, mengingatkan bahwa musik bisa menjadi pintu bagi kelengahan jiwa. Namun bahkan al-Ghazali tidak serta-merta memvonis haram. Ia membedakan antara musik yang membawa kebaikan dan musik yang mengantarkan pada kelalaian.

Penelitian modern seperti karya Kristina Nelson dalam The Art of Reciting the Qur’an memaparkan bahwa masyarakat Islam sepanjang sejarah justru mengembangkan sensitifitas artistik terhadap suara—baik dalam qira’ah, nasyid, maupun seni musik tradisional—sebagai bagian dari dimensi ruhani, bukan ancaman moral.

Ulama Menimbang, Masyarakat Menafsir

Dalam peta yang lebih luas, watak kelenturan hukum Islam tercermin pada cara para ulama menimbang konteks. Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity menekankan bahwa hukum tidak boleh dipisahkan dari realitas sosial. Selama tidak muncul mudarat atau pelanggaran moral, sebuah aktivitas seni tak perlu diperlakukan sebagai ancaman.

Di sisi lain, sejarawan Islam Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam menunjukkan bahwa sepanjang sejarah, dunia Islam kaya dengan musik: dari qasidah gurun, alunan Andalusia, hingga instrumen Persia. Jejak sejarah ini memberi sinyal bahwa larangan total tidak pernah menjadi konsensus.

Namun munculnya gerakan keagamaan yang lebih skripturalis belakangan membuat sebagian Muslim cenderung bersandar pada pendekatan kehati-hatian. Mereka mencari pengharaman dari hadis-hadis yang diperselisihkan otoritasnya, seperti riwayat tentang alat musik yang “menjadi tanda akhir zaman”—sebuah riwayat yang oleh sebagian ahli hadis, termasuk Ibn Hazm, dinilai tidak memenuhi syarat validitas untuk dijadikan dasar hukum.

Ketika Kaidah Menjadi Kompas

Dalam suasana silang pendapat, kaidah “asal segala sesuatu itu diperbolehkan” menjadi kompas penting. Ia mengembalikan diskursus pada prinsip: larangan harus datang dari nash yang kuat; tanpa itu, syariat tidak menuntut umat mempersempit ruang hidupnya sendiri.

Qardhawi menutup kajiannya dengan ajakan tidak mencari-cari perkara samar. Prinsip kehati-hatian tidak boleh berubah menjadi beban. Kaidah mubah justru adalah tanda “kasih sayang Allah kepada hamba-Nya,” sebagaimana tertuang dalam hadis Daraquthni.

Pada akhirnya, perdebatan tentang musik bukan sekadar soal boleh atau tidak. Ia mencerminkan cara umat memahami hukum, seni, dan ruang luas yang dibuka agama bagi ekspresi manusia.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 19 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:04
Maghrib
17:54
Isya
19:07
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan