Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 19 November 2025
home masjid detail berita

Fikih Musik Imam Ghazali: Ketika Syariat, Kenikmatan, dan Kekhawatiran Bertemu

miftah yusufpati Selasa, 18 November 2025 - 16:35 WIB
Fikih Musik Imam Ghazali: Ketika Syariat, Kenikmatan, dan Kekhawatiran Bertemu
Halal itu luas, dan pengharaman hanya diberlakukan bila ada kerusakan yang jelas atau potensi kuat menuju kerusakan. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Dalam banyak perdebatan klasik tentang musik, Imam Abu Hamid Al Ghazali kerap hadir sebagai figur penengah yang tajam, moderat, dan sulit dibantah. Dalam Ihya Ulumuddin, ia membuka ruang seluas-luasnya bagi keindahan, namun sekaligus menegakkan pagar ketat bagi segala kemungkinan kemudaratan. Sikap yang oleh Syaikh Yusuf Qardhawi dalam Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah (Citra Islami Press, 1997) disebut sebagai fiqih yang bebas dari ikatan mazhab, bahkan mencerminkan cakrawala seorang mujtahid mutlak yang melihat syariat dari horizon luas.

Dalam penjelasan panjangnya, Ghazali menolak keras anggapan bahwa kenikmatan adalah alasan utama pengharaman musik. Bila kenikmatan menjadi ukuran, maka semua yang lezat bagi manusia seharusnya dilarang. Ia mengingatkan bahwa khamr, khalwat, atau memandang aurat diharamkan bukan karena rasa nikmatnya, tetapi karena akibat lanjutan yang berbahaya.

Di sinilah letak penting pandangan Ghazali: keindahan bukan masalah, tetapi pintu yang mengarah ke kerusakan harus diawasi.

Lima Faktor yang Mengubah Mubah Menjadi Haram

Ghazali merumuskan lima faktor yang menentukan kapan musik tetap mubah dan kapan ia berubah menjadi haram. Uraiannya detail, nyaris seperti manual etika sosial dan psikologis.

Pertama: faktor penyanyi. Jika suara perempuan yang tidak halal dipandang berpotensi memicu fitnah, maka larangan diberlakukan. Tetapi ia mengingatkan kasus dua gadis budak yang bernyanyi di rumah Aisyah sementara Nabi SAW mendengar tanpa melarang. Artinya, konteks usia, situasi, dan potensi fitnah menjadi penentu.

Kedua: faktor alat musik. Tiga alat—seruling, autaar (alat petik), dan genderang kecil—dianggap identik dengan simbol majelis maksiat pada masa itu. Ghazali menyebutnya dilarang karena menyerupai kebiasaan para peminum dan banci, bukan karena bunyinya. Rebana, beduk, atau syahin tidak termasuk larangan.

Ketiga: faktor lirik. Syair yang mengandung cacian, dusta, gambaran vulgar, atau penghinaan terhadap sahabat membuat pendengar turut serta dalam dosa. Ghazali mengingatkan bahwa lagu yang menggambarkan ciri-ciri perempuan tertentu dapat mengarahkan pikiran kepada yang haram.

Keempat: faktor pendengar. Pada pemuda yang mudah tergugah syahwat, mendengar syair cinta dapat membakar angan-angan dan mendorong maksiat. Larangan muncul bukan karena musiknya, tetapi karena kondisi psikologis pendengar.

Kelima: faktor kebiasaan dan kelalaian. Musik boleh dinikmati seperti kenikmatan lain yang mubah. Namun jika seseorang tenggelam dan menghabiskan seluruh waktunya untuk mendengarkannya, maka ia termasuk orang yang bodoh dan tertolak kesaksiannya. Yang mubah dapat berubah makruh berat jika menjadi rutinitas yang melalaikan. Ghazali mengumpamakannya dengan permainan catur atau bahkan roti—mubah, tetapi bisa menjadi tercela jika berlebihan.

Masalah Seruling dan Autaar

Menariknya, Qardhawi mencatat bahwa tidak ada hadis sahih yang benar-benar tegas dan kuat melarang alat-alat itu. Ghazali sendiri menganggap hadis-hadis tentang larangan tersebut seakan tanpa perselisihan, lalu menafsirinya sesuai prinsip kemudaratan. Jika saja ia mengetahui kelemahan sanadnya, tulis Qardhawi, mungkin ia tak perlu bersusah payah menafsirkannya. Namun argumentasi preventif (saddudz dzari’ah) yang ia bangun tetap bermanfaat bagi mereka yang menerima hadis-hadis itu.

Ghazali menutup pembahasannya dengan prinsip besar: bahwa yang halal itu luas, dan pengharaman hanya diberlakukan bila ada kerusakan yang jelas atau potensi kuat menuju kerusakan. Ia mengutip firman Allah dalam Al A’raf ayat 32: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya?”

Di tengah masyarakat Muslim modern yang terus berdebat soal musik, konser, alat musik digital, atau tren hiburan, fiqih Ghazali terasa bukan hanya sebagai teks agama, tetapi sebagai etika sosial: membolehkan selama tidak merusak, melarang ketika ada bahaya yang nyata.

Di antara dua ekstrem — yang mengharamkan semua, dan yang membolehkan tanpa batas — Ghazali menempatkan dirinya pada wilayah tengah, dengan prinsip kehati-hatian yang elastis. Itulah mengapa fiqihnya, seperti disebut Qardhawi, layak diajarkan dalam kajian perguruan tinggi: bukan hanya karena kedalamannya, tetapi juga karena kemampuannya menyeimbangkan iman, seni, dan manusia.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 19 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:04
Maghrib
17:54
Isya
19:07
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan