LANGIT7.ID-Di banyak ruang wacana Islam, penerapan syariat sering menjadi perdebatan yang tak berujung. Di satu sisi, ia digadang sebagai solusi atas kegersangan moral dan krisis sosial modern. Di sisi lain, pelaksanaannya kerap tampil kaku dan formalistik, kehilangan ruh yang seharusnya menghidupkannya. Di titik ini, ulama besar asal Mesir, Syaikh Yusuf al-Qardhawi, menyodorkan renungan yang tajam: “Sesungguhnya syariat Islam tidak mungkin diterapkan dengan penerapan yang sebenarnya kecuali oleh orang-orang yang beriman terhadap kesuciannya.”
Bagi Qardhawi, iman bukan sekadar prasyarat teologis, tapi fondasi eksistensial. Hanya mereka yang meyakini sumber ketuhanan (
Rabbaniyah) dan keadilan hukum Islam yang mampu menjalankannya secara utuh—bukan karena tekanan sosial, apalagi simbol politik. Orang beriman, tulisnya, akan mengamalkan hukum Allah dengan keikhlasan, mempelajarinya dengan detail, dan menjadi teladan yang menumbuhkan cinta terhadap syariat itu sendiri. “Orang lain akan mencintai syariat karena melihat pengaruhnya yang nyata dalam kehidupan,” tegasnya.
Qardhawi mengajak umat menengok sejarah awal Islam. Generasi sahabat Rasul, katanya, tidak memaksakan syariat lewat kekuasaan atau paksaan hukum. Mereka menegakkannya lewat perilaku dan akhlak. “Manusia mencintai Islam setelah Islam mencintai mereka,” tulis Qardhawi. Di mata masyarakat, para sahabat adalah “Qur’an yang berjalan”—kehidupan mereka menjadi tafsir hidup atas wahyu.
Namun zaman berganti, dan semangat itu memudar. Dalam bukunya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, Qardhawi menyoroti paradoks umat modern: syariat sering dikampanyekan oleh mereka yang “bukan ahlinya”—yakni orang yang tak memahami hakikatnya atau mengabaikannya. Maka syariat berubah menjadi slogan tanpa jiwa. Ia kehilangan
sense of belonging dari pemeluknya sendiri.
“Risalah yang besar,” tulis Qardhawi, “memerlukan pemelihara dan pendukung yang kuat.” Tanpa mereka, penerapan syariat hanya berhenti di kulit—ritual yang tampak lahiriah namun tak menggugah akar budaya dan moral masyarakat. Ia tidak lagi mampu, meminjam bahasanya, “merubah pola hidup dari akarnya.”
Interpretasi ini menegaskan, bagi Qardhawi, penerapan Islam bukan proyek politik atau hukum semata. Ia adalah proses pembentukan jiwa—membangun masyarakat yang iman dan akhlaknya mendahului peraturan. Syariat, dalam pandangan beliau, baru hidup jika dijalankan oleh manusia yang hidup dengan iman.
(mif)