Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Menafsir Ulang Syariat: Ketika Hukum Tak Lagi Sakral

miftah yusufpati Senin, 20 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Menafsir Ulang Syariat: Ketika Hukum Tak Lagi Sakral
Syariat bukan bekuan mazhab, tapi jalan yang terus hidup. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Suatu sore di Doha, seorang ulama asal Mesir duduk di ruang kerjanya yang sederhana. Di meja kayu tua itu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menulis sebuah kalimat yang kelak menjadi pijakan perdebatan panjang di dunia Islam modern: “Syariat dalam arti luas bukanlah mazhab tertentu.”

Kalimat itu terdapat dalam bukunya, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (Citra Islami Press, 1997). Sebuah karya reflektif yang mengajak umat Islam keluar dari kungkungan sempit fanatisme mazhab menuju semangat ijtihad yang hidup, dinamis, dan kontekstual.

Qardhawi menulis, hukum Islam yang dicita-citakan bukan fiqih salah satu mazhab pada masa tertentu, melainkan kaidah-kaidah pokok yang ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah—dua sumber utama yang menaungi berbagai ragam ijtihad sejak masa sahabat hingga ulama kontemporer.

Dalam pandangannya, kekayaan khazanah fiqih yang berkembang dari masa ke masa adalah warisan besar yang harus dijadikan fondasi, bukan beban. “Tidak bisa diterima bahwa ijtihad modern dimulai dari nol,” tulisnya. Yang baru, katanya, harus disandarkan pada yang lama; yang lama pun perlu ditinjau ulang agar tak kehilangan relevansi dengan perubahan zaman.

Bagi Qardhawi, inti dari fiqih bukanlah kumpulan hukum beku, melainkan cara berpikir yang terus menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu. Ia mengutip kaidah klasik dari para ulama besar: “Fatwa bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, dan kebiasaan.”

Kaidah ini ditegaskan oleh tokoh-tokoh fiqih lintas mazhab, seperti Al-Qarafi dalam Al-Ihkam, Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in, dan Ibnu ‘Abidin dalam Nasyr al-‘Urf. Semuanya menegaskan bahwa syariat Islam bersifat elastis, tidak kaku, dan mampu menjawab tantangan sosial di setiap masa.

Qardhawi mengingatkan, membatasi diri hanya pada satu mazhab dalam semua permasalahan justru berisiko mengerdilkan Islam itu sendiri. Sebab, setiap mazhab lahir dari konteks sosial yang berbeda. Yang sesuai di Baghdad abad ke-9 belum tentu relevan di Jakarta abad ke-21.

Ia mencontohkan persoalan batas maksimal masa kehamilan yang dulu sempat diperdebatkan ulama. Sebagian menyebut empat tahun, lima tahun, bahkan tujuh tahun. Pendapat itu muncul karena pada masa itu belum dikenal konsep medis modern tentang hamil palsu. Kini, dengan kemajuan ilmu, fatwa itu tentu bisa berubah.

Begitu pula dalam masalah jual beli murabahah, zakat hasil bumi, atau hukum talak. Semua itu, kata Qardhawi, mesti ditinjau berdasarkan tujuan syariat—maqashid syari’ah—yakni untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, bukan sekadar mengikuti pendapat lama tanpa menimbang konteks.

“Tidak dosa bagi kita,” tulisnya, “untuk meninggalkan satu mazhab demi berpindah pada mazhab lain jika alasan syar’inya lebih kuat dan lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.”

Ijtihad, Jalan Tengah Umat

Dalam konteks modern, pandangan Qardhawi menjadi relevan kembali. Dunia Islam kini berada di persimpangan: antara kelompok yang ingin membekukan syariat dalam bentuk literal dan mereka yang ingin menyingkirkan syariat dari ruang publik sama sekali.

Qardhawi menempuh jalan tengah. Ia menolak ekstremisme dua arah itu dengan mengembalikan ruh syariat pada substansinya: nilai keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Baginya, Islam bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi sistem moral yang hidup dan terus berkembang.

“Syariat Islam itu sangat luas,” tulisnya, “dan keluasan itu adalah rahmat.”

Keluasan yang dimaksud bukan sekadar pluralitas pendapat, melainkan keluasan berpikir—intellectual generosity—yang membuat umat Islam bisa berdialog dengan perubahan zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya.

Dari Doha ke Dunia

Sejak diterbitkan, gagasan Qardhawi tentang syariat dan ijtihad menjadi rujukan banyak kalangan, dari ulama tradisional hingga akademisi hukum Islam modern. Pemikir seperti Tariq Ramadan dan Jasser Auda bahkan mengembangkan pendekatan serupa, menafsirkan syariat bukan sebagai sistem hukum beku, melainkan sebagai kerangka etis yang menuntun tindakan manusia dalam masyarakat plural.

Lebih dari dua dekade setelah bukunya terbit, pesan Qardhawi tetap bergema: syariat tidak lahir untuk memenjarakan umat, melainkan untuk membebaskan mereka dari kemandekan berpikir.

Kini, ketika perdebatan soal hukum Islam kembali mengeras di berbagai negeri Muslim, seruan Qardhawi terasa seperti napas segar dari masa lalu: “Syariat bukan mazhab, bukan dogma, bukan produk satu zaman. Ia adalah jalan—yang luas, lapang, dan terbuka bagi setiap orang yang mencari kebenaran.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan