LANGIT7.ID-Pada suatu siang di Kairo, 1969, Syaikh Yusuf al-Qaradawi duduk di ruang kerjanya yang sederhana di Universitas al-Azhar. Di hadapannya terbuka lembar-lembar naskah berjudul
Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nasyuduh—Sistem Masyarakat Islam yang Kita Idamkan. Dari situlah, satu istilah kemudian lahir dan menjadi perdebatan panjang di dunia Islam modern:
tasyri’ rabbani — hukum yang bersumber dari Tuhan.
Lebih dari setengah abad kemudian, istilah itu kembali bergema. Bukan hanya di ruang kuliah fikih, tapi juga di tengah masyarakat yang mulai resah pada arah moral dan hukum dunia modern.
Ketika hukum manusia kehilangan nurani, tasyri’ rabbani menawarkan keseimbangan. Ia menuntun manusia agar hukum bukan sekadar alat kekuasaan, tapi jalan menuju keadilan.
Dalam karya klasiknya itu, Qaradawi menulis bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa hukum, sebagaimana tubuh tak bisa hidup tanpa darah.
“Hati nurani saja tidak cukup,” tulis Qaradawi dalam
Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim (Citra Islami Press, 1997). “Karena motivasi moral tanpa tatanan hukum hanyalah doa yang tak sampai.”
Bagi Qaradawi,
tasyri’ rabbani adalah fondasi peradaban. Ia bukan sekadar sistem hukum, tapi juga arah moral masyarakat. Ia melindungi manusia dari hawa nafsunya sendiri, karena, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an (Al-Hadid: 25), “Kami turunkan Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan.”
Namun dalam praktik modern, hukum sering terputus dari sumbernya. Legislasi berubah menjadi arena kompromi politik, bukan pencarian kebenaran moral.
Sekularisasi hukum telah menjauhkan kita dari nilai wahyu. Padahal dalam Islam, hukum bukan semata soal legalitas, tapi legitimasi—apakah ia selaras dengan kehendak Ilahi.
Ketika Hukum Kehilangan JiwaFenomena global memperlihatkan paradoks yang dikhawatirkan Qaradawi. Di Barat, pernikahan sejenis telah dilegalkan; di sebagian negara maju, aborsi bebas dijamin undang-undang. Sementara itu, di negara Muslim sendiri, korupsi dan ketidakadilan sosial masih merajalela.
Ini bukan soal Timur atau Barat. Ini soal sumber moralitas hukum. Bila hukum tidak lagi berpijak pada nilai-nilai transenden, ia akan menjadi instrumen kekuasaan, bukan keadilan.
Qaradawi menyebut situasi itu sebagai
fasad al-fikr wa al-qalb—kerusakan akal dan hati. Ia menulis: “Manusia telah diberi akal untuk membedakan yang hak dan yang batil, tapi mereka dikalahkan oleh syahwat dan kekuasaan.”
Hukum yang kehilangan ruh tasyri’ rabbani akan mudah berubah mengikuti tekanan pasar dan politik. Qaradawi memberi contoh Amerika Serikat yang sempat melarang minuman keras, lalu mencabutnya kembali demi kepentingan industri. “Bagi manusia modern, undang-undang bisa dihapus karena laba. Bagi hukum langit, keadilan tidak bisa dinegosiasi.”
Dalam tafsir Al-Maidah: 48–50, Al-Qur’an memaparkan dikotomi tajam: manusia hanya punya dua pilihan—hukum Allah atau hukum jahiliyah.
Qaradawi menegaskan, tidak ada “jalan tengah” antara keduanya. “Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim,” (Al-Maidah: 45).
Namun, dalam konteks masyarakat modern, dikotomi ini sering dianggap terlalu absolut. Yang dimaksud bukan menolak hukum positif, tapi mengembalikan roh wahyu dalam pembentukan hukum. “Tasyri’ rabbani bukan berarti theokrasi, melainkan moralitas hukum yang berakar pada ketuhanan.”
Dengan kata lain, tasyri’ bukan sistem tertutup, melainkan prinsip terbuka: hukum harus selalu tunduk pada nilai-nilai yang datang dari Tuhan, bukan dari hawa nafsu manusia.
Relevansi di Tengah Kekacauan MoralMengapa gagasan tasyri’ rabbani kembali relevan hari ini? Karena dunia modern tengah menghadapi krisis makna hukum: korupsi yang dilegalkan lewat celah aturan, ketimpangan yang dilindungi regulasi, dan moralitas yang direduksi menjadi statistik ekonomi.
“Di tengah kegaduhan hukum, tasyri’ rabbani mengingatkan bahwa keadilan tidak bisa didefinisikan oleh mayoritas atau modal,” tulis intelektual muda Mesir, Khaled Abou El Fadl, dalam
Speaking in God’s Name (Oxford, 2003). “Ia bersumber dari nilai Ilahi yang tidak berubah oleh waktu.”
Keadilan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an, bukan hanya untuk Muslim, tetapi untuk seluruh manusia (An-Nisa: 105). Karena itu, tasyri’ rabbani bukan sekadar klaim kebenaran agama, tapi sistem etika universal yang menolak diskriminasi dan kesewenang-wenangan.
“Masalah utama umat bukan kekurangan hukum, tapi kehilangan nurani,” ujar Prof. Quraish Shihab kepada *Tempo* (2018). “Dan tasyri’ rabbani adalah jembatan antara hukum dan nurani itu.”
Ketika hukum buatan manusia semakin sering tunduk pada kepentingan ekonomi dan politik, gagasan Qaradawi terasa seperti peringatan dari masa lalu: bahwa tanpa tasyri’ rabbani, keadilan hanyalah slogan, bukan kenyataan.
(mif)