Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Ijtihad, Tajdid, atau Tabdid: Ketika Semangat Pembaruan Melampaui Batas Ilmu dan Nalar

miftah yusufpati Selasa, 21 Oktober 2025 - 16:40 WIB
Ijtihad, Tajdid, atau Tabdid: Ketika Semangat Pembaruan Melampaui Batas Ilmu dan Nalar
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: MEE
LANGIT7.ID-Di tengah gelombang wacana “pembaruan Islam” yang kian deras di media sosial dan forum akademik, muncul satu kekhawatiran lama yang kembali relevan: semangat *ijtihad* yang meluap, tetapi kehilangan disiplin ilmu yang menjadi pondasinya.

Fenomena ini digambarkan tajam oleh Syaikh Yusuf al-Qardhawi, ulama dan pemikir Islam kontemporer asal Mesir, dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997). Ia menulis, “Seruan untuk berijtihad dewasa ini bukan sekadar asal-asalan dan membuka pintunya kepada setiap orang yang mengaku dengan lantang padahal belum terpenuhi syarat-syarat utama dalam ijtihad.”

Qardhawi mengingatkan, ijtihad bukan sembarang tafsir bebas, melainkan proses ilmiah yang bersandar pada keutuhan ilmu ushul fikih, bahasa Arab, tafsir, dan maqashid syariah. Tanpa fondasi itu, kata dia, pembaruan yang diidamkan bisa berubah menjadi “perusakan” (tabdid), bukan “tajdid” (pembaruan yang terarah).

Dalam dua dekade terakhir, istilah ijtihad memang seakan menjadi mantra. Di seminar kampus, podcast keislaman, hingga kanal YouTube, banyak tokoh muda yang menggaungkan perlunya “membuka pintu ijtihad” untuk menjawab tantangan modernitas—dari ekonomi digital hingga isu gender.

Namun, sebagaimana dicatat Qardhawi, sebagian dari mereka “tidak mampu memisahkan antara sisi keislaman yang bersifat konstan dan sisi yang fleksibel.” Akibatnya, batas antara prinsip agama dan tafsir personal menjadi kabur.

Dalam tafsir Qardhawi, kebenaran tak dapat tunduk pada selera zaman atau hawa nafsu manusia. Ia mengutip firman Allah dalam surah Al-Mu’minun: 71: “Andaikan kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi serta semua yang ada di dalamnya.”

Kutipan itu bukan sekadar pengingat teologis, tetapi kritik epistemologis terhadap kecenderungan sebagian aktivis tajdid yang, menurut Qardhawi, “ingin mengembangkan Islam sesuai keinginan dan hawa nafsu mereka.”

Ijtihad, Bukan Dekonstruksi

Dalam pandangan Qardhawi, pembaruan Islam sejati tidak berarti membuang warisan fikih klasik. Ia menegaskan bahwa fiqih bukan kumpulan pandangan sempit yang lahir dari ruang dan masa tertentu, tetapi “khasanah hukum besar yang dibangun oleh akal-akal cerdas sejak generasi sahabat hingga masa kini.”

Ia menulis dengan nada getir: “Saya tidak tahu ada sebuah umat yang membuang warisannya berupa hukum positif ke belakang dan memulai dari nol untuk membuat undang-undang baru, tanpa mau mengambil faedah dari sejarah masa lalunya.”

Pendapat ini seolah menjawab gejala “dekonstruksi fikih” yang kini marak di kalangan akademik—gerakan yang menganggap seluruh bangunan hukum Islam hanyalah konstruksi sosial masa lalu yang boleh diruntuhkan.

Namun, bagi Qardhawi, sikap demikian adalah bentuk alienasi intelektual: kehilangan akar keilmuan Islam, tetapi belum cukup matang memahami epistemologi Barat yang dijadikan pembanding.

Kritik terhadap Gerakan Qur’anisme

Qardhawi juga menyoroti kelompok yang mengklaim cukup berpegang pada Al-Qur’an tanpa Sunnah. Dalam tulisannya, ia menyebut mereka “melompat lebih jauh” hingga menolak hadis-hadis ahad atau membatasi pada hadis mutawatir saja.

Padahal, tegasnya, “Sebagian besar hadis adalah hadis ahad, dan perputaran Sunnah banyak berkisar pada hadis-hadis qauliyah (perkataan Nabi).”

Mengutip An-Nisa: 80, ia menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul adalah bentuk ketaatan kepada Allah: “Barangsiapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah.”

Pandangan ini menegaskan posisi Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an, bukan sekadar pelengkap.

Dalam bagian lain, Qardhawi menyoroti kelompok intelektual yang berupaya menafsir ulang hukum Islam dengan alasan “reaktualisasi.” Menurutnya, sebagian justru terjebak pada sikap ekstrem: menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, atas nama modernitas.

Ia menulis: “Ada yang mengatakan, ayat tentang potong tangan hanya relevan bagi pencuri unta di padang pasir jazirah Arab. Ini tuduhan kepada Allah seakan ilmu-Nya terbatas pada masa lalu.”

Qardhawi menilai argumentasi semacam itu tidak hanya salah secara historis, tapi juga teologis. “Jika mereka menolak Sunnah, langkah berikutnya adalah menolak Al-Qur’an itu sendiri,” tulisnya.

Ijtihad yang Beradab

Pesan utama Qardhawi sederhana namun tegas: ijtihad adalah gerbang ilmu, bukan pintu kebebasan tanpa batas. Tajdid sejati menuntut kehati-hatian ilmiah, bukan ambisi untuk mengganti hukum Allah dengan tafsir sosial.

Ia menutup bagian bukunya dengan kalimat yang kini terasa lebih relevan dari sebelumnya: “Kita mengajak untuk berijtihad dan bukan asal-asalan, untuk tajdid dan bukan perusakan, untuk fiqih yang terjaga orisinalitasnya dan bukan saling tuduh yang tanpa dasar.”

Interpretasi Qardhawi ini muncul di tengah perdebatan kontemporer tentang posisi ulama dan otoritas tafsir di era digital. Di satu sisi, ijtihad dibutuhkan untuk menjawab problem modernitas; di sisi lain, batas antara inovasi dan penyimpangan menjadi semakin tipis.

Sebagaimana diingatkan oleh filsuf Islam kontemporer Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), “Pembaruan yang sejati adalah kembali ke semangat awal wahyu, bukan meninggalkannya.”

Dalam konteks itu, seruan Qardhawi agar umat membedakan antara tajdid dan tabdid bukan sekadar nostalgia teologis, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana ilmu agama mesti dijaga agar tetap hidup—tanpa kehilangan arah.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan