LANGIT7.ID--Suatu siang di Kairo, seorang ulama sepuh berdiri di hadapan forum ilmiah. Dengan suara bergetar, Syaikh Muhammad Abu Zahrah, tokoh besar hukum Islam abad ke-20, mengucap kalimat yang mengejutkan para peserta seminar. “Sesungguhnya aku menyimpan pendapatku ini sejak dua puluh tahun lebih. Sekarang aku telah terlepas dari tanggunganku.”
Kalimat itu, seperti dikisahkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997), menggambarkan tragedi sunyi di dunia keilmuan Islam: ijtihad yang mati di tangan ketakutan.
Abu Zahrah bukan takut pada kebenaran, tapi pada umatnya sendiri—pada mereka yang menjadikan agama beku, yang menghunus “pedang terorisme ilmiah” kepada siapa pun yang berani berpikir berbeda.
Dalam bab “Harus Ada Ijtihad Baru yang Tepat”, Qardhawi menulis dengan nada prihatin. Ia menggambarkan dua kelompok ekstrem yang, meski tampak berseberangan, sama-sama membahayakan jiwa Islam.
Kelompok pertama adalah mereka yang ingin melunakkan Islam seperti adonan roti, agar bisa dibentuk sesuka zaman. Mereka menafsirkan agama tanpa pijakan nash—tanpa Al-Qur’an, Hadis, ijma’, dan qiyas.
“Mereka menjadikan Islam tunduk pada modernitas, bukan modernitas yang beretika pada Islam,” tulis Qardhawi.
Contohnya, mereka yang berusaha melegalkan bunga bank, padahal, kata Qardhawi, “seluruh lembaga dan muktamar ilmiah Islamiyah telah mengharamkannya.”
Kelompok kedua berada di ujung berlawanan: mereka yang ingin menjadikan Islam beku seperti batu.
Mereka terbagi dua: yang pertama, kaum
mutaakhkhirin yang taklid buta pada mazhab—enggan bergeser sehelai rambut dari kitab lama. Yang kedua, kelompok yang menolak mazhab apa pun namun tetap kaku, yang oleh Qardhawi disebut “Zhahiriyyah model baru.”
Keduanya, tulis Qardhawi, sama-sama menutup pintu bagi dinamika pemikiran. Mereka menganggap setiap pandangan baru sebagai penyimpangan, setiap ijtihad segar sebagai ancaman.
Teror Intelektual di Dunia IslamQardhawi menggunakan istilah yang tajam: “Mereka mempublikasikan pedang terorisme kepada setiap ulama yang mempunyai pendapat baru.”
Ia tidak berbicara tentang teror fisik, melainkan teror intelektual—kecaman, fitnah, dan pengucilan terhadap ulama yang berani berpikir di luar arus besar.
Dalam pandangannya, inilah yang menyebabkan kematian ijtihad di banyak negeri Muslim. Banyak ulama besar, seperti Abu Zahrah, memilih diam. Mereka takut kehilangan reputasi, diserang murid sendiri, atau dianggap keluar dari jalan salaf. “Dengan demikian,” tulis Qardhawi, “matilah berbagai pendapat itu dari pemiliknya, dan tidak ada jalan keluar lagi untuk mengutarakan.”
Ijtihad yang Hidup dan RelevanNamun Qardhawi bukan sekadar mengeluh. Ia mengajukan solusi: ijtihad baru yang tepat. Yang dimaksud bukan kebebasan tanpa batas, melainkan ijtihad yang berakar dan berbuah.
“Hukum Islam yang dicita-citakan,” tulisnya, “adalah hukum yang tegak berdasarkan ijtihad masa kini yang benar, baik yang menyeleksi pendapat lama maupun yang benar-benar baru.”
Dengan kata lain, ijtihad harus berdialog dengan masa lalu, bukan memutusnya. Yang lama dijaga, yang baru dikembangkan, selama keduanya berdasar pada dalil dan tujuan syariat (maqashid syari’ah).
Ijtihad, bagi Qardhawi, bukan keberanian semata, tapi juga tanggung jawab moral dan spiritual. Ia adalah jembatan antara teks suci dan kenyataan manusia yang terus berubah.
Relevansi di Tengah KebekuanLebih dari dua dekade sejak buku itu diterbitkan, pesan Qardhawi tetap relevan. Dunia Islam kini terbelah antara dua ekstrem yang sama: mereka yang menghalalkan segalanya atas nama modernitas, dan mereka yang mengharamkan segalanya atas nama kesucian masa lalu.
Sementara di tengah-tengah, suara para mujtahid moderat sering tenggelam di antara teriakan dua kutub itu.
Padahal, sebagaimana ditulis Qardhawi dalam kitabnya yang lain,
Al-Ijtihad fi Asy-Syari‘ah al-Islamiyyah (hal. 173–184), kemajuan umat tak mungkin lahir dari ketakutan berpikir. Tanpa ijtihad, Islam akan kehilangan daya geraknya dan berhenti menjadi rahmat bagi semesta.
Kisah Abu Zahrah adalah peringatan. Ia menunjukkan bahwa ketakutan intelektual bisa lebih berbahaya daripada kesalahan berpikir.
Bagi Qardhawi, keberanian berijtihad adalah syarat agar Islam tetap hidup. “Kebenaran,” tulisnya, “tidak lahir dari keseragaman, tapi dari dialog dan keberanian menguji ulang tradisi.”
Dan di sanalah tantangan umat Islam modern:bukan sekadar memilih antara batu dan adonan roti,tetapi membentuk roti yang kokoh—yang mengenyangkan zaman tanpa kehilangan rasa aslinya.(mif)