Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 19 November 2025
home masjid detail berita

Pakaian: Tafsir atas Penutup Tubuh dan Penjaga Martabat

miftah yusufpati Jum'at, 14 November 2025 - 06:14 WIB
Pakaian: Tafsir atas Penutup Tubuh dan Penjaga Martabat
Pakaian bukan hanya menunjuk kain penutup tubuh, tetapi juga simbol fitrah, moralitas, dan relasi manusia dengan godaan setan. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Mufasir Prof. Dr. M. Quraish Shihab menyebut pakaian bukan sekadar kain yang dikenakan manusia, tetapi sebuah konsep yang disebut sebagai “ide dasar tentang diri manusia”. Dalam tafsir tematiknya, Quraish Shihab menelusuri tiga istilah Al-Qur’an untuk pakaian: libas, tsiyab, dan sarabil. Ketiganya memancarkan makna berbeda-beda, membentuk satu lanskap pemahaman bahwa pakaian bukan sekadar benda, tetapi simbol peradaban dan etika.

Dalam Wawasan Al-Qur’an (Mizan), Quraish Shihab mencatat bahwa kata libas muncul sepuluh kali. Kata ini memuat makna penutup—apa pun yang ditutupi, baik jasmani maupun batin. Dalam Surat An-Nahl (16:14), kata libas bahkan digunakan untuk menggambarkan perhiasan laut—mutiara—yang dipakai manusia. Artinya, pakaian tidak selamanya kain; ia bisa menjadi simbol identitas dan keindahan.

Istilah berikutnya, tsiyab, berasal dari kata tsauba yang berarti “kembali”—mengembalikan sesuatu kepada ide asalnya. Pakar bahasa klasik Ar-Raghib al-Isfahani, dalam Mufradat Alfaz al-Qur’an, menyatakan bahwa pakaian dinamai tsiyab karena ia mengembalikan tubuh pada keadaan idealnya: tertutup. Menurut para mufasir, kata ini khusus untuk pakaian lahiriah.

Sementara itu, sarabil muncul dalam dua ayat—salah satunya pada QS An-Nahl (16:81). Di sana, sarabil adalah pakaian yang melindungi tubuh dari panas, dingin, dan ancaman peperangan. Dalam QS Ibrahim (14:50), kata itu menggambarkan pakaian siksaan dari “pelangkin”—penanda bahwa pakaian juga bisa menjadi alat hukuman bagi mereka yang menolak nilai-nilai moral.

Aurat, Setan, dan Adam: Kisah Pakaian Pertama Manusia

Narasi tafsir kemudian bergerak ke satu episode yang menjadi akar kesadaran moral tentang pakaian: kisah Adam dan Hawa. Dalam QS Al-A’raf (7:20), setan membisikkan godaan agar keduanya melihat apa yang tertutup dari diri mereka—aurat. Setelah memakan buah terlarang, “tampaklah aurat-aurat mereka” (7:22), sehingga mereka menutupi diri dengan daun-daun surga.

Bagi Quraish Shihab, peristiwa itu bukan sekadar dongeng kosmis, melainkan gambaran tentang ide dasar manusia: bahwa aurat pada dasarnya tertutup. Setanlah yang membuka. Karena itu, pakaian adalah “kembalinya manusia kepada fitrah”.

Riwayat ini beririsan dengan kisah yang dikutip ulama besar Al-Biqa’i dalam Nazhm ad-Durar. Ketika Nabi Muhammad ragu apakah makhluk di Gua Hira itu malaikat atau setan, Khadijah membuka sebagian pakaiannya dan bertanya: “Apakah engkau masih melihatnya?” Ketika Nabi menjawab tidak, Khadijah berkata: “Itu pasti malaikat; setan senang melihat aurat.” Kisah ini menjadi simbol bahwa keterbukaan aurat sering diasosiasikan dengan tipu daya setan.

Simbol Etika dan Budaya: Pakaian sebagai Konsep Sosial

Dalam tradisi hukum Islam, pakaian bukan sekadar penutup tubuh, melainkan simbol moralitas publik. Sosiolog Muslim Seyyed Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man menulis bahwa aurat bukan hanya soal fisik, tetapi konsep spiritual yang melindungi martabat. Pakaian, menurut Nasr, adalah “perpanjangan akhlak”.

Sementara sejarawan Marshall Hodgson mencatat dalam The Venture of Islam bahwa dalam sejarah Islam, pakaian juga menjadi penanda sosial: dari jubah Umar bin Khattab hingga busana sufi Persia. Namun aturan tentang menutup tubuh selalu berkisar pada tema yang sama: menjaga kehormatan diri.

Penelitian kontemporer seperti karya Leila Ahmed, Women and Gender in Islam, menunjukkan bahwa konsep aurat mengalami dialog panjang antara teks, tradisi, dan dinamika sosial. Pemaknaan pakaian berubah dari abad ke abad, tetapi gagasan inti—penjaga kesadaran moral—tetap bertahan.

Antara Fitrah, Simbol, dan Godaan

Pakaian, dalam benang merah tafsir Quraish Shihab, adalah perjalanan panjang manusia kembali kepada ide dasarnya. Di satu sisi ia penutup aurat; di sisi lain ia identitas, perlindungan, dan bahkan simbol spiritual. Ketika Al-Qur’an memperingatkan, “Janganlah kamu ditipu setan sebagaimana ia menanggalkan pakaian kedua orang tuamu” (Al-A’raf: 27), itu bukan sekadar perintah berpakaian, tetapi seruan untuk menjaga martabat.

Pakaian menjadi cermin: apakah manusia mengikuti fitrah atau godaan; apakah ia mengembalikan dirinya kepada ide asal atau melepaskan diri dari batas moral.

Dalam dunia modern di mana fashion menjadi industri miliaran dolar dan budaya visual semakin menonjol, tafsir ini menjadi pengingat bahwa pakaian bukan hanya tren, melainkan narasi panjang tentang manusia, kehormatan, dan sejarah spiritualnya.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 19 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:04
Maghrib
17:54
Isya
19:07
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan