LANGIT7.ID-Pada tahun-tahun awal kekhalifahan Utsman bin Affan, Mesir adalah wilayah muda dalam kekuasaan Islam. Kota Iskandariah, dengan pelabuhannya yang riuh dan benteng lamanya, menjadi simpul penting di Laut Tengah. Namun penguasaan itu belum sepenuhnya kukuh. Di Konstantinopel, Kaisar Konstans II menunggu celah untuk merebut kembali provinsi terkaya Imperium Romawi Timur.
Ketika celah itu datang, ia tidak menyia-nyiakannya.
Kekuatan laut saat itu sepenuhnya milik Romawi. Literatur historis menguatkan gambaran timpangnya pengetahuan maritim antara kedua dunia itu. Muslim, sejak masa Nabi Muhammad hingga masa Umar bin Khattab, lebih akrab dengan padang pasir ketimbang gelombang. Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam yang terkenal lihai, pernah meminta izin membangun armada. Umar menolak.
Sejarawan Philip K. Hitti dalam
History of the Arabs (1937) menuliskan bahwa pengalaman buruk ekspedisi laut Ala bin al-Hadrami di Teluk Persia membekaskan trauma pada Umar. Ketika Muawiyah mendesak lagi, Umar meminta Amr bin As—gubernur Mesir—melukiskan bagaimana laut itu sebenarnya. Jawaban Amr kemudian hari menjadi kutipan klasik dalam historiografi Islam:
"Saya melihat laut itu ciptaan besar yang diarungi makhluk kecil. Jika tenang hati jadi sedih, jika bergolak pikiran kacau. Bagaikan ulat di sebatang kayu: jika miring tenggelam, jika selamat bersinar."
Umar kian mantap menolak. Sejarawan Hugh Kennedy (
The Great Arab Conquests, 2007) mencatat bahwa ketakutan Umar bukan saja pada gelombang, tetapi pada risiko kehilangan pasukan dalam jumlah besar. Selama ia hidup, tidak ada satu pun kapal perang Arab yang dilepas ke Laut Tengah.
Karena itu, Konstans II bergerak dengan keyakinan penuh. Ia tahu musuhnya tuli terhadap deru ombak.
Serangan yang Tidak DidengarEkspedisi Konstantinopel disusun dengan kerahasiaan yang tak lazim. Tiga ratus kapal digerakkan di bawah komando Manuel, perwira dari keluarga bangsawan. Rencana itu hanya diketahui lingkaran inti istana. Dalam catatan Al-Baladzuri (Futuh al-Buldan), kerahasiaan itu begitu ketat sehingga intel Muslim bahkan tak mencium pergerakan satu kapal pun.
Romawi memanfaatkan kenyataan bahwa pantai-pantai Mesir tidak dijaga armada. Ketika Manuel menurunkan pasukannya di Iskandariah, ia disambut oleh warga setempat keturunan Romawi yang masih setia kepada Konstantinopel. Mereka segera bergabung, dan bersama-sama menyerbu barak pasukan Arab. Seluruh penghuninya dibunuh kecuali beberapa orang yang sempat lolos.
Peter Crawford dalam
The War of the Three Gods (2013) menyebut operasi ini "
one of the boldest amphibious counterattacks in the Mediterranean of the 7th century". Bukan karena jumlah pasukan—Romawi sudah sering mengerahkan armada besar—melainkan karena keberhasilannya mendarat tanpa diketahui.
Selama beberapa hari, Manuel menguasai kembali Iskandariah. Dalam benak pasukan Romawi, keberhasilan ini seperti membuka pintu menuju restorasi kekuasaan lama: Mesir kembali berada dalam genggaman mereka, kedaulatan Imperium terpulihkan, dan ancaman ekspansi Arab dapat ditekan jauh melintasi Sinai.
Harapan Restorasi yang Terlalu DiniNamun euforia itu terlalu cepat. Sumber-sumber Muslim seperti Tarikh ath-Thabari mencatat bagaimana kabar itu segera sampai ke Fustat. Amr bin As bergerak cepat. Ia mengumpulkan pasukan, melakukan mobilisasi suku-suku Arab yang tinggal di Mesir, dan menyiapkan serangan balik yang kelak menjadi salah satu pertempuran penentu nasib Mesir.
Konstans mungkin mengira waktu ada di pihaknya. Namun Mesir pada masa Utsman bukan lagi tanah tak bertuan yang mudah direbut seperti beberapa dekade sebelumnya. Amr telah membangun jaringan sosial, militer, dan administrasi yang membuat Mesir tidak mudah lepas dalam satu pukulan.
Sejarawan Alfred J. Butler dalam klasiknya
The Arab Conquest of Egypt (1902) menggambarkan momen ini sebagai "clash of two wills": kehendak Romawi untuk merebut kembali dan kehendak Arab untuk mempertahankan yang telah dimenangkan.
Dan di tengah dua kehendak itu, Iskandariah menjadi panggung pertama sebelum gelombang besar berikutnya.
(mif)