LANGIT7.ID- Di musim-musim awal kekhalifahannya, Utsman bin Affan mewarisi dunia yang retak pada pinggirannya. Gelombang pembebasan yang berlangsung cepat sejak masa Umar bin Khattab menyisakan celah: wilayah luas tak dijaga garnisun, perjanjian jizyah tak selalu ditepati, dan para penguasa lokal menimbang kembali posisi mereka. Di tengah keadaan yang rapuh itu, Azerbaijan muncul sebagai bara pertama.
Muhammad Husain Haekal dalam
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan (Pustaka Litera AntarNusa) mencatat bagaimana struktur pertahanan Muslim ketika itu jauh dari mapan. Pasukan Arab ditarik ke pusat markas—Damsyik, Hims, Basrah, dan Kufah—sementara daerah-daerah yang dibebaskan diserahkan kembali kepada penduduk lokal dengan perjanjian jizyah. Formula itu efektif di masa Umar, tetapi mengandung risiko: tanpa kehadiran militer tetap, pembangkangan mudah menyala.
Azerbaijan, negeri pegunungan yang luas di barat daya Laut Kaspia, adalah wilayah terakhir yang direbut pada masa Umar. Utbah bin Farqad menaklukkannya dengan persetujuan damai—jaminan keamanan, kebebasan beragama, dan jizyah sesuai kemampuan. Dari sana, garis serangan meluas hingga Bab dan Mauqan sebelum pasukan berhenti akibat wafatnya Umar. Pengganti beliau belum memberi instruksi, dan Abdur-Rahman bin Rabi’ah memilih menunggu.
Saat Utsman dibaiat, kecemasan di perbatasan berubah menjadi perlawanan. Menurut Haekal, Azerbaijan menolak membayar jizyah 800 ribu dirham yang pernah disepakati dengan Huzaifah bin Yaman. Keraguan bahwa kebijakan khalifah baru akan berubah, bercampur keengganan membayar upeti kepada kekuatan yang tak lagi tampak hadir. Pembangkangan itu memaksa pusat bergerak.
Di sinilah nama Walid bin Uqbah muncul. Para sejarawan berbeda pendapat soal tahun keberangkatannya ke Azerbaijan—tahun 24, 25, atau 26 Hijriah. Tabari dan Ibn al-Atsir menyebut tahun 24, sebelum Walid menjabat gubernur Kufah, dan Haekal cenderung pada pendapat ini. Alasannya: pemberontakan terjadi segera setelah Umar wafat, dan Utsman membutuhkan langkah cepat untuk menjaga wibawa kedaulatan.
Walid diberi mandat ganda: mengembalikan penghormatan atas perjanjian, sekaligus menunjukkan bahwa pusat kekhalifahan masih tegak. Ia bukan saja menyerang Azerbaijan, tetapi juga mengirim pasukan ke Mauqan, Bir, dan Tailasan. Abdullah bin Syabil memimpin ekspedisi tambahan—menawan, menundukkan, dan menyita harta perang sebagai syarat disiplin baru. Keberhasilan itu mengembalikan keyakinan bahwa Muslimin tetap kuat, meski Khalifah baru.
Sumber-sumber lain memperkuat gambaran ketegangan tersebut. Dalam
Futuh al-Buldan, al-Baladhuri menggambarkan wilayah Persia utara pada masa itu sebagai kawasan yang “cepat memberontak karena jauh dari pusat dan merasa aman oleh gunung-gunungnya.” Sementara R. Roolvink dalam
Historical Atlas of the Muslim Peoples (1957) menunjukkan betapa rumitnya medan Azerbaijan: pegunungan tinggi, kuil-kuil api Zoroaster, dan jaringan lokal yang terbiasa otonom.
Di sisi politik, pembangkangan Azerbaijan tidak sekadar soal uang. Itu adalah tes awal terhadap legitimasi Utsman. Wilayah perbatasan ingin melihat apakah Khalifah ketiga mampu melanjutkan garis kebijakan Umar—tegas, cepat, dan stabil. Keterlambatan sedikit saja dapat dibaca sebagai kelemahan yang mengundang fitnah di tempat lain.
Keputusan Utsman menunjuk Walid mengirim pesan: bahwa struktur kekuasaan pusat masih memiliki taring. Bahwa perbatasan, seberapa jauh pun, tetap bagian dari batang tubuh kekhalifahan. Dan bahwa pembebasan bukanlah akhir dari perang, melainkan rangkaian panjang diplomasi, tekanan, dan sesekali tindakan militer.
Azerbaijan akhirnya tunduk kembali. Tetapi rangkaian peristiwa itu memberi sinyal bahwa masa Utsman tidak akan mudah. Seperti ditulis Haekal, “anasir-anasir fitnah” telah bergerak, dan setiap pemberontakan kecil di pinggir kekuasaan adalah gema dari badai yang perlahan mendekat.
(mif)