LANGIT7.ID-Letak Armenia membuatnya selalu berada di persimpangan sejarah. Negeri pegunungan itu berdempetan dengan daerah-daerah yang dibebaskan pasukan Walid bin Uqbah pada awal kekhalifahan Utsman bin Affan. Sejak lama, Armenia adalah wilayah yang hidup di antara dua dunia: Persia dan Romawi. Pada periode tertentu ia merdeka, pada periode lain tubuhnya dibagi dua—setengah dikuasai Sasaniyah, setengah lagi dibekap Bizantium.
Muhammad Husain Haekal dalam
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan mencatat bahwa wilayah Armenia masa itu jauh lebih luas dari yang dikenal kini. Al-Baladhuri menuliskannya sebagai empat Armenia—Pertama hingga Keempat—membentang dari Syamsyat hingga tepian Laut Kaspia. Suatu negeri perbatasan yang terbiasa hidup dalam ritme serbuan, pemberontakan, dan diplomasi paksa.
Pada masa Umar, setelah Heraklius terusir dari Syam dan Antakiah jatuh, Khalid bin Walid sempat menggempur Mar’asy, Syamsyat, hingga daerah-daerah yang berada dalam genggaman Bizantium. Akan tetapi operasi itu tidak menghasilkan struktur politik baru. Khalid membawa pulang rampasan perang tanpa membuat perjanjian jizyah atau perlindungan. Armenia tetap tak tersentuh sebagai wilayah kekhalifahan, hanya menerima gema pukulan yang membuatnya gelisah.
Ketika Bizantium berusaha bangkit—mengirim kapal-kapal ke Antakiah dan memicu pemberontakan di Hims, Halab, serta kota-kota utara Syam—pasukan Muslim kembali masuk. Pertahanan Romawi runtuh dalam serangan cepat. Iyad bin Ganam menyeberang, sementara Khalid memukul wilayah Armenia hingga Amid dan Ruha. Tetapi sekali lagi, setelah kemenangan itu, tidak ada bangunan administratif yang dibangun. Tak ada hak-hak atau kewajiban jizyah yang ditetapkan. Armenia tetap wilayah abu-abu: terpukul, tapi tidak terikat.
Ketidakpastian itulah yang diwarisi Utsman. Armenia yang tidak dibina pasca-operasi Umar berubah menjadi wilayah rawan fitnah. Dari utara, Bizantium selalu mengincar celah untuk merebut kembali Syam. Dari dalam, penduduk Armenia yang tak pernah masuk dalam perjanjian politik menunggu kesempatan untuk membangkang.
Beberapa sejarawan modern menilai kondisi Armenia ketika itu memang tidak stabil. Hugh Kennedy dalam
The Great Arab Conquests menulis bahwa wilayah-wilayah pegunungan seperti Armenia lebih sulit dikendalikan bukan hanya karena medan, tetapi juga karena elite lokalnya yang terbiasa bernegosiasi keras dengan dua kekuatan besar. Sementara al-Baladhuri menggambarkan Armenia sebagai negeri yang "senantiasa menunggu pasukan Bizantium" untuk bangkit melawan, sehingga setiap serangan Muslim hanya menghasilkan kepatuhan sementara.
Pada masa awal Utsman, pembebasan kembali Armenia menjadi kebutuhan strategis. Syam tidak boleh dibiarkan terbuka dari sisi utara. Kekhalifahan membutuhkan garis pertahanan yang pasti, bukan wilayah abu-abu yang sewaktu-waktu berubah menjadi celah.
Walid bin Uqbah, yang sebelumnya menstabilkan Azerbaijan, memimpin gerakan berikutnya di utara. Pengalamannya menghadapi perlawanan perbatasan membuatnya dipilih kembali. Para komandan yang mendampingi Walid bergerak masuk ke Armenia melalui koridor yang sama yang dulu ditempuh Khalid: rute pegunungan, lembah sempit, dan kota-kota berbenteng. Hasilnya adalah penaklukan bertahap atas wilayah-wilayah yang selama masa Umar hanya ditaklukkan secara militer, bukan secara administratif.
Sejarawan Ibn al-Atsir mencatat bahwa kali ini, berbeda dari masa Umar, pasukan mendirikan perjanjian yang mengikat—perlindungan jiwa dan harta dengan kewajiban jizyah. Itu menandai perubahan strategi: Utsman ingin memastikan bahwa setiap wilayah yang disentuh pedang Arab harus masuk ke dalam jaring kekuasaan yang terkelola.
Dalam konteks geopolitik yang lebih luas, pembebasan Armenia adalah langkah defensif. Bizantium masih bernapas setelah kekalahan di Syam; Kaisar Konstans II terus menguji batas selatan imperiumnya. Sementara di Persia, sisa-sisa bekas administrasi Sasaniyah masih berserak, memberi dukungan kepada kelompok-kelompok perlawanan kecil. Armenia berada tepat di antara dua tekanan itu. Jika dibiarkan, wilayah itu dapat menjadi batu loncatan serangan ke jantung kekuasaan Muslim di Suriah.
Haekal menulis bahwa pembebasan Armenia di masa Utsman memperlihatkan perubahan karakter kepemimpinan pasca-Umar: lebih administratif, lebih struktural, dan lebih cermat mengikat wilayah taklukan. Bukan lagi sekadar serangan militer, melainkan konsolidasi politik.
Pada akhirnya, Armenia tunduk. Tetapi sama seperti Azerbaijan, pembebasan itu menandai permulaan tahap baru: kekhalifahan yang semakin luas dan semakin sulit dikendalikan. Dalam catatan sejarawan seperti Patricia Crone dan Chase Robinson, tekanan pada perbatasan kerap memantul ke pusat, memicu ketegangan politik yang kelak menajam pada masa-masa akhir pemerintahan Utsman.
Pembebasan Armenia adalah satu simpul dari rangkaian itu: kemenangan militer yang menenangkan perbatasan tetapi tak sepenuhnya meredakan badai yang sedang tumbuh di tubuh kekhalifahan sendiri.
(mif)