Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Rabu, 19 November 2025
home masjid detail berita

Kisah Utsman bin Affan: Orang-orang Romawi di Iskandariah Meminta Bantuan Bizantium

miftah yusufpati Selasa, 18 November 2025 - 05:15 WIB
Kisah Utsman bin Affan: Orang-orang Romawi di Iskandariah Meminta Bantuan Bizantium
Dari Iskandariah, orang-orang Romawi menulis ke Konstantinopel, memanggil kembali bayang-bayang Bizantium. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Pada pertengahan abad ketujuh, di antara jalur rempah dan pelabuhan-pelabuhan Laut Tengah, Mesir menjadi titik genting antara kekuasaan Islam yang tengah berkembang dan sisa-sisa imperium Bizantium yang enggan kehilangan tanah suburnya. Di balik layar, kota Iskandariah yang pernah menjadi pusat intelektual dunia kembali berdenyut sebagai ruang intrik. Orang-orang Romawi yang tinggal di sana, menurut catatan Muhammad Husain Haekal dalam Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaan (Pustaka Litera AntarNusa), diam-diam menulis surat kepada Kaisar Konstans II. Isinya: permohonan bantuan untuk merebut kembali Mesir.

Permintaan itu lahir dari luka politik. Setelah Mesir ditaklukkan oleh Amr bin As pada masa Umar bin Khattab, sikap administrasi Arab relatif lunak. Pajak diringankan, struktur pemerintahan lokal dipertahankan, dan penduduk dibiarkan memelihara keyakinan lama. Tapi kebijakan yang menyamakan Iskandariah dengan wilayah Mesir lain membuat warga Romawi di kota itu merasa kehilangan keistimewaan yang sejak lama mereka nikmati. Rasa tidak puas ini, tulis Haekal, berubah menjadi hasutan kepada komunitas Romawi yang masih bertahan agar membenci pemerintahan Muslim.

Sementara ketegangan politik di dalam tubuh pemerintahan Islam sendiri memperlemah pengawasan. Di Madinah, Umar mencurigai Amr memperkaya diri dari pajak Mesir, hingga mengutus Muhammad bin Maslamah melakukan audit. Di masa Utsman, hubungan Amr memburuk oleh naiknya kedudukan Abdullah bin Sa’d bin Abi Sarh—saudara sepersusuan khalifah—yang diperluas kewenangannya. Di tengah kabut kewenangan ini, benteng Iskandariah yang kokoh dibiarkan tanpa penguatan berarti, hanya dijaga sekitar seribu prajurit.

Kecenderungan politik seperti itu—longgarnya pertahanan pada wilayah strategis akibat perebutan pengaruh di pusat—bukan fenomena tunggal. Sejarawan Hugh Kennedy dalam The Great Arab Conquests (2007) menunjukkan bahwa masa transisi pasca-Umar memang ditandai ketidakseragaman komando di provinsi. Sementara Philip K. Hitti dalam History of the Arabs (1951) mencatat bahwa Mesir memiliki nilai ekonomi luar biasa bagi Bizantium; kebutuhan gandum Konstantinopel membuat wilayah itu terlalu berharga untuk dibiarkan hilang begitu saja.

Di Konstantinopel, laporan orang-orang Iskandariah tentang lemahnya garnisun Arab dan absennya armada laut membuat Konstans II melihat kesempatan. Laut, kekuatan yang tak dimiliki pihak Muslim di Mesir, menjadi pintu masuk paling mungkin untuk merebut kembali provinsi kaya itu. Jika pasukan Bizantium dapat mendarat diam-diam di Iskandariah, kota itu bisa jatuh hanya dalam hitungan hari. Dari sana, seluruh Mesir—dengan desa-desa Nil yang subur—terbuka untuk ditaklukkan kembali.

Niat Bizantium itu, menurut Haekal, tidak sampai ke telinga Amr. Baik karena dirahasiakan dengan ketat oleh pihak Romawi, maupun karena Amr sedang terpecah perhatiannya oleh perselisihan politik dengan pusat. Dalam situasi seperti inilah, tulisnya, sulit menyalahkan sepenuhnya komandan Mesir. Ia berada di tengah tarik-menarik kewenangan yang membuatnya tak mungkin memonitor rencana makar yang disusun begitu rapi.

Sejumlah sejarawan modern melihat episode ini sebagai titik balik dinamika kekuasaan Islam—ketika ancaman eksternal dan internal bertemu. Ira M. Lapidus dalam A History of Islamic Societies (2014) menilai bahwa fase awal Kekhalifahan Utsman memang diwarnai ketidakpuasan administratif yang membuka ruang bagi lawan-lawan eksternal. Sementara Patricia Crone dalam God’s Caliph (1986) menekankan bahwa struktur pemerintahan Arab saat itu masih rapuh, sehingga provinsi seperti Mesir mudah terguncang oleh ketegangan politik di pusat.

Bagi Konstans II, peluang yang dibawa surat dari Iskandariah terlalu manis untuk diabaikan. Jika Mesir kembali ke pelukan Bizantium, kekalahan di Syam bisa ditebus, dan jalur pangan ke Konstantinopel kembali aman. Bagi Mesir, babak baru pergolakan segera dimulai—menandai salah satu episode awal benturan antara kepentingan lokal, perebutan kuasa elite Muslim, dan ambisi kekaisaran yang tak pernah padam.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Rabu 19 November 2025
Imsak
03:55
Shubuh
04:05
Dhuhur
11:42
Ashar
15:04
Maghrib
17:54
Isya
19:07
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan