LANGIT7.ID- Begitu kabar terbunuhnya Umar bin Khattab tersebar dan baiat kepada Utsman bin Affan dikukuhkan, dua kekuatan besar yang sejak lama mengawasi wilayah Arab mulai bergerak. Persia dan Romawi, yang sebelumnya menandatangani perjanjian damai pada masa Umar, tiba-tiba melihat celah. Kekuasaan baru di Madinah dianggap rapuh, dan mereka menakar kemungkinan merebut ulang wilayah-wilayah yang telah jatuh ke tangan Muslimin.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan (PT Pustaka Litera AntarNusa), mencatat bagaimana ketegangan itu menjadi beban pertama yang harus dipikul Khalifah ketiga. Pasukan Muslim di Persia, Barqah, hingga selatan Mesir tetap siaga. Perang konvensional dan tekanan psikologis berlangsung bersamaan. Umar sebelumnya telah memaksakan kebijakan perbatasan ketat yang mengharuskannya tetap memperluas wilayah—bukan karena ambisi ekspansi, tetapi karena situasi geopolitik yang tidak memberinya pilihan lain.
Haekal menilai Utsman tidak mungkin mengubah garis kebijakan itu tanpa mempertaruhkan kedaulatan. Pasukan Muslim masih berada di titik-titik paling rawan dari Persia hingga Mesir ketika Umar wafat. Jika kebijakan itu dihentikan tiba-tiba, wilayah yang telah direbut berpotensi hilang seluruhnya. Dalam bahasa Haekal, perubahan arah politik akan membuat seluruh kedaulatan terancam runtuh.
Kelemahan ini segera terbaca oleh musuh. Begitu masa transisi kekuasaan berlangsung di Madinah, sejumlah wilayah yang telah tunduk pada masa Umar memilih membatalkan perjanjian. Mereka menolak membayar jizyah, sebagian lain terang-terangan memberontak. Azerbaijan dan Armenia menjadi dua wilayah pertama yang bergerak. Menyusul kemudian serangan Romawi ke Syam. Di Iskandariah, penduduk setempat membatalkan kesepakatan damai dan meminta perlindungan Romawi—yang segera mengirim bantuan.
Tindakan ini berlangsung beruntun dan nyaris serempak. Haekal menggambarkannya sebagai gelombang yang, bila dibiarkan, akan menarik provinsi lain untuk ikut memberontak. Sebab itu, Utsman tidak punya ruang kompromi. Daerah-daerah itu harus ditundukkan kembali, setidaknya untuk mempertahankan standar yang telah berlaku pada masa Umar. Bila satu wilayah dibiarkan melanggar perjanjian, struktur kekuasaan Arab akan runtuh seperti bangunan yang kehilangan fondasi.
Di sinilah kebijakan luar negeri Utsman mulai terlihat. Ia menumpas pemberontakan dari akarnya. Langkah itu berujung pada perluasan pembebasan wilayah, meski bukan melalui rencana ekspansi sistematis, melainkan sebagai respons militer terhadap ancaman yang datang bertubi-tubi. Kondisi ini pula yang mendorongnya membentuk angkatan laut untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintahan Islam, melengkapi angkatan darat yang sudah berjalan sejak masa dua khalifah sebelumnya.
Haekal mencatat bahwa episode ini menjadi bagian penting dari transformasi kekuasaan. Tumpukan masalah luar negeri, tekanan internal, serta ketergantungan pada stabilitas militer membentuk arah politik Utsman berikutnya. Dalam bab-bab selanjutnya, Haekal menunjukkan bagaimana kebijakan itu perlahan bersinggungan dengan dinamika dalam negeri, menumpuk ketegangan yang akhirnya meledak dalam bentuk pemberontakan terhadap sang khalifah. Dari titik itulah, menurut Haekal, kekhalifahan setelah Ali berubah menjadi kerajaan yang lebih keras di bawah Bani Umayyah.
(mif)