LANGIT7.ID- Di antara debu pertempuran Armenia dan Azerbaijan, kabar lain turut naik ke permukaan: pasukan Kufah dan Syam bersitegang soal rampasan perang. Ketegangan itu bukan sekadar drama di garis depan. Ia adalah isyarat awal dari lapisan konflik yang lebih tua dan lebih dalam: persaingan identitas antara dua komunitas Arab yang tumbuh dalam kondisi sosial berbeda.
Riwayat ini terpotret dalam karya Muhammad Husain Haekal tentang
Utsman bin Affan, disandarkan pada sumber primer seperti Tabari dan Balazuri. Di satu titik dalam kampanye Kaukasus, setelah Habib bin Maslamah dari pasukan Syam berhasil menundukkan benteng-benteng Romawi, datang bala bantuan Irak yang dipimpin Salman bin Rabi’ah. Pasukan Kufah menuntut bagian rampasan perang yang dianggap mereka ikut berhak. Namun pasukan Syam menolak. Perselisihan meruncing hingga ancaman pembunuhan terlontar, sebagaimana dicatat Tabari dalam
Tarikh al-Rusul wa al-Muluk.
Di masa Umar, gesekan serupa pernah muncul tetapi tidak menyalakan bara. Mengapa di masa Utsman ia menjadi begitu benderang? Sejarawan modern seperti Hugh Kennedy (
The Prophet and the Age of the Caliphates) dan Fred Donner (
The Early Islamic Conquests) memberikan petunjuk: masyarakat Kufah dibentuk oleh ragam suku dari Jazirah Arab tengah dan selatan — suku-suku yang mencari ruang sosial dan ekonomi baru di wilayah penaklukan. Sementara itu, penghuni awal Syam didominasi oleh Muhajirin dan Ansar serta keturunan mereka, yang membawa legitimasi historis lebih tinggi dalam komunitas Muslim.
Perbedaan komposisi sosial itu kerap membentuk sikap. Di medan perang, perbedaan tersebut menjelma dalam klaim atas prestasi, wewenang, dan bagian rampasan perang. Demikian pula dicatat al-Balazuri dalam
Futuh al-Buldan: pasukan Syam menganggap diri mereka sebagai barisan inti yang lebih berpengalaman, sedangkan pasukan Kufah menuntut persamaan hak sebagai penopang kekuatan ekspansi di Timur.
Perselisihan distribusi ganimah pada masa ini menjadi cermin perubahan struktur masyarakat Arab awal Islam. Patricia Crone dalam studi tentang formasi negara Islam awal menyebut fenomena ini sebagai gesekan antara elite inti dengan kelompok-kelompok baru yang merasa berhak atas posisi politik dan material. Ketika Utsman naik sebagai khalifah, garis gesek itu semakin tampak. Ia bukan semata soal harta rampasan, tetapi soal siapa yang memiliki suara lebih kuat dalam arah pemerintahan.
Riwayat tentang ancaman antar-prajurit yang dicatat Tabari—bahkan ke titik siap membunuh komandan lawan—menandai bahwa gesekan itu bukan sekadar sengketa teknis. Ia adalah ketegangan laten yang kelak meledak menjadi rangkaian gelombang politik pada akhir masa Utsman dan awal kekhalifahan Ali.
Dalam catatan Haekal, pertikaian itu dibiarkan terbuka sebagai tanda tanya: apakah ia sekadar fenomena lokal, atau isyarat awal retakan besar? Sejarah menjawabnya beberapa dekade kemudian, ketika persaingan Irak dan Syam mencapai puncaknya dalam Perang Shiffin.
Dalam momen di Kaukasus itu, bayangannya baru sebatas riak. Namun riak kecil itulah yang menandai masuknya dunia Islam ke fase baru: ketika identitas suku, legitimasi keagamaan, dan kepentingan politik mulai berbenturan dalam arena yang sama.
(mif)