LANGIT7.ID-Pada tahun-tahun awal kekhalifahannya, Utsman bin Affan masih berdiri dalam bayang-bayang panjang pemerintahan Umar bin Khattab. Kala itu, hukum ditegakkan sampai ke pelosok, pejabat dicurigai pertama-tama, dan rakyat diperlakukan seolah pusaka yang harus dijaga. Keadilan era Umar, dalam ingatan masyarakat Arab kala itu, seperti oase yang tak boleh mengering.
Karena itu, begitu menjabat, Utsman merasa perlu merumuskan pedoman moral kekuasaan. Ia menulis surat yang kelak dikutip banyak ahli sejarah sebagai cermin politik domestiknya. Muhammad Husain Haekal dalam
Usman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaan (Pustaka Litera AntarNusa) menyebut surat itu sebagai “pemetaan etika dan batas kekuasaan”—sebuah kerangka yang hendak menahan negara muda dari kecenderungan penyimpangan struktural.
“Allah telah memerintahkan para pemimpin supaya menjadi gembala, bukan pemungut pajak,” tulis Utsman dalam surat pertamanya. Ia mengingatkan bahwa pejabat publik bukanlah mesin penekan rakyat, melainkan penjaga amanat.
Bunyinya lugas: pemimpin harus menuntut kewajiban dan memberi hak dengan seimbang; zimmi dilindungi sebagaimana kaum Muslimin; perjanjian dengan musuh ditepati demi menahan dendam dari tumbuh menjadi perang.
Sejarawan Michael Lecker dalam studi-studinya tentang administrasi awal Islam menyebut pesan seperti ini sebagai “
counterweight moral”—usaha menahan elite agar tidak berubah menjadi kelas predator dalam sistem yang sedang tumbuh (Lecker, Islamic Origins and the Administrative State, 2013).
Memisahkan Penguasa dari Pemungut PajakTetapi Utsman—lebih halus daripada Umar—menyadari perangai manusia dapat tergelincir cepat ketika berhadapan dengan uang. Ia memisahkan petugas pajak dari struktur kekuasaan lokal. Kepada para pemungut itu ia mengirim surat keras: “Amanat adalah tetap amanat… janganlah kalian menjadi yang pertama melanggarnya, karena orang-orang sesudah kalian akan mencontoh kalian.”
Kebijakan ini menarik perhatian beberapa ahli sejarah kontemporer. Patricia Crone dalam
God’s Rule (2004) menilai langkah Utsman sebagai upaya menciptakan “
early bureaucracy of restraint”—menahan potensi kolusi penguasa dengan aparat fiskal yang biasanya menjadi sumber keresahan rakyat pada negara-negara pra-modern.
Kedermawanan negara pada masa Utsman meningkat: bantuan prajurit dinaikkan, dana umum dilonggarkan. Namun Utsman tak ingin rakyat salah tafsir. Ia menerbitkan surat ketiga: jangan sampai pesona dunia membuat mereka lupa jati diri.
“Keadaan umat sekarang cenderung mengada-ada… Rasulullah sudah berkata: kekufuran adalah ketidakfasihan mengucapkan, bila memaksa diri mengada-ada.”
Haekal membaca kalimat ini sebagai kritik sosial: masyarakat yang mulai menikmati kenyamanan pasca-penaklukan rawan kehilangan kepekaan etis. Ini juga selaras dengan analisis W. Montgomery Watt yang menyebut era Utsman sebagai awal “transformasi sosial Arab dari masyarakat sederhana menjadi masyarakat imperium” (Watt,
The Formative Period of Islamic Thought, 1973).
Ancaman dari Timur dan BaratMeski garis besar kebijakan dalam negeri telah digariskan, ancaman eksternal tetap membayang. Utsman tahu Romawi dan Persia tidak akan tinggal diam. Maka kepada para komandan, dari Mesir hingga Persia, ia menulis: “Kamu adalah perisai Muslimin… Umar telah membuat ketentuan yang kalian ketahui. Perhatikanlah bagaimana keadaan kalian.”
Dalam pembacaan Haekal, surat ini adalah upaya Utsman mempertahankan stabilitas militer dalam sistem yang mulai meluas. Karen Armstrong dalam
Muhammad: A Prophet for Our Time (2006) menjelaskan bahwa masa Utsman menyaksikan “ketegangan antara ekspansi imperium dan kemampuan negara mengawalnya”—ketegangan yang semakin meningkat seiring dinamika internal.
Surat-surat itu, jika dibaca sekilas, terlihat sebagai pedoman ideal. Namun sejarah mencatat, beberapa tahun setelahnya, fitnah politik meruyak. Tuduhan nepotisme, tekanan fiskal daerah, dan ketidakpuasan administratif meledak menjadi pemberontakan.
Dalam catatan historis, surat-surat Utsman berdiri sebagai dokumen niat baik—atau mungkin peringatan dini atas apa yang kelak gagal dicegah. Sejarawan Wilferd Madelung menilai kebijakan administratif Utsman “lebih lunak daripada Umar, tetapi justru kelunakan itulah yang dibaca sebagian orang sebagai celah” (
The Succession to Muhammad, 1997).
Jejak Etika yang TertinggalKini, di antara riwayat panjang itu, surat-surat Utsman memiliki posisi ambivalen: sebuah idealisme yang ditulis dengan tinta pemimpin saleh, namun dipakai membaca awal mula rekahan politik yang mengubah arah sejarah Islam.
Dalam retorika sederhana—“amanat adalah amanat”—Utsman seolah mengingatkan generasi masa depan: negara yang menua dan membesar tidak hanya memerlukan kekuatan, tetapi juga kejujuran dalam mengelola kekuasaan. Sebuah pesan yang tetap relevan, bahkan lebih dari seribu tahun setelah ia wafat.
(mif)