LANGIT7.ID-Ketika Madinah sibuk menata kehidupannya setelah hijrah, dua nama besar dalam sejarah Islam diam-diam menyusun takdir mereka:
Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah az-Zahra. Tak ada pesta megah, tak ada
mas kawin berlimpah. Tapi justru dari kesederhanaan itulah cinta mereka abadi, terus dikenang hingga berabad-abad kemudian.
Muharram tahun kedua Hijriah. Kota Madinah belum lama menjadi rumah baru umat Islam setelah perjalanan hijrah dari Makkah. Di tengah suasana transisi sosial dan politik, Rasulullah SAW mendapat satu kabar yang menggetarkan batinnya: putri kesayangannya, Fatimah, telah dilamar.
Yang datang bukan orang sembarangan. Ali bin Abi Thalib—sepupu sekaligus sahabat yang tumbuh di bawah asuhan langsung Rasulullah—dengan wajah merah padam, datang menyampaikan niatnya. Ia bukan pemuda tajir, bukan pula pedagang sukses seperti Abdurrahman bin Auf atau Utsman bin Affan yang sebelumnya juga menyatakan minat mereka.
Ali datang membawa keberanian dan cinta, tapi tanpa harta.
Menurut riwayat, Ali bahkan tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan sebagai mahar selain sebuah baju besi yang pernah digunakannya dalam medan perang. Dan baju besi itulah yang ia serahkan kepada Rasulullah sebagai simbol keseriusannya.
Fatimah, yang tumbuh dalam rumah kenabian dengan kesalehan dan kezuhudan sebagai pakaian hariannya, tidak keberatan. Tak ada yang lebih berharga daripada restu sang ayah, dan akhlak calon suaminya.
Baca juga: Kisah Ali bin Abi Thalib Menolak Membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah Pernikahan itu berlangsung di bulan Muharram. Sederhana, tapi sarat makna. Rasulullah sendiri yang memimpin jalannya prosesi. Dalam khutbahnya, ia mengingatkan bahwa rumah tangga bukan tempat pelampiasan syahwat, tapi ladang amal dan perjuangan menuju ridha Allah.
Kehidupan rumah tangga Ali dan Fatimah jauh dari kemewahan. Mereka tinggal di rumah kecil yang berdinding tanah liat dan beratap pelepah kurma. Ali bekerja keras di luar rumah, sementara Fatimah menggiling gandum hingga tangannya kasar. Tapi keduanya saling menopang dan tidak pernah mengeluh.
“Demi Allah, aku tak pernah membuat Fatimah marah, dan ia pun tak pernah menyakitiku,” kata Ali suatu ketika. “Jika aku melihat wajahnya, hilang semua kesedihanku.”
Banyak yang menjadikan rumah tangga Ali dan Fatimah sebagai simbol ideal keluarga muslim: cinta yang tenang, iman yang mendalam, serta solidaritas yang tak pernah usang. Dari mereka lahir Hasan dan Husain, dua cucu Rasulullah yang juga menjadi bagian penting dalam sejarah Islam.
Namun, seperti kisah besar lainnya, cinta mereka juga diliputi oleh duka. Fatimah wafat tak lama setelah wafatnya Rasulullah. Ia hanya sempat hidup beberapa bulan mendampingi Ali di masa-masa penuh guncangan politik dan fitnah pasca wafatnya sang Nabi.
Ali tak pernah menikah lagi selama Fatimah hidup. Dan setelah wafatnya pun, ia tetap menjaga kenangan itu dalam kesetiaan yang nyaris tak tergambarkan.
Baca juga: Ali bin Abi Thalib di Mata Dhirar bin Dhamrah: Membuat Muawiyah Menangis Dalam sejarah Islam yang kerap dipenuhi perang dan perebutan kekuasaan, kisah pernikahan Ali dan Fatimah terasa seperti oase: lembut, penuh cinta, tapi tak lepas dari perjuangan. Bulan Muharram, yang sering dikenang sebagai bulan duka, ternyata juga menjadi saksi lahirnya rumah tangga dua manusia suci.
Sebuah pernikahan yang tak diiringi gemerlap, tapi justru menyinari zaman.
(mif)