LANGIT7.ID-Di banyak mimbar dan ruang obrolan umat, penyakit sering dipahami sebagai bentuk teguran atau siksa Allah. Tidak sedikit yang menganggap bahwa ketika sakit datang, itu adalah cambuk Ilahi. Pandangan seperti ini, tulis Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan), pernah diulas ulama besar Al-Biqa’i.
Ia mengutip sabda Nabi: “Penyakit adalah cambuk Tuhan di bumi ini, dengannya Dia mendidik hamba-hamba-Nya.” Pandangan itu mengakar kuat, terutama karena dalam makna takwa terselip satu pesan: menjauhi siksa Allah, baik di dunia maupun akhirat.
Tetapi Quraish Shihab menawarkan tafsir yang lebih bernas—bahwa “siksa” di dunia sering kali berbentuk konsekuensi alami dari pelanggaran terhadap hukum-hukum alam. Makanan kotor menimbulkan penyakit; mengabaikan kebersihan mengundang gangguan kesehatan. Pelanggaran seperti ini bukan sekadar urusan medis, tapi bagian dari ketidakpatuhan terhadap ketentuan Tuhan dalam bentuk paling dasar.
Dari titik itulah, berobat menjadi perintah agama. Dalam hadis riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi, Nabi bersabda: “Berobatlah, karena tiada satu penyakit yang diturunkan Allah kecuali diturunkan pula obat penangkalnya, selain satu penyakit: ketuaan.” Dengan kata lain, ikhtiar adalah kewajiban, dan pasrah buta bukanlah tuntunan.
Justru dari prinsip dasar itu terbuka ruang bagi pembahasan medis paling modern, termasuk transplantasi organ. Quraish Shihab merangkum sejumlah prinsip syariah yang menjadi pijakan hukum ulama kontemporer:
1. Islam bertujuan memelihara agama, jiwa, akal, kesehatan, dan harta.
2. Tubuh manusia adalah amanah—bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
3. Kehormatan manusia mencakup semua, lintas ras dan agama.
4. Merendahkan manusia, hidup atau wafat, adalah terlarang.
5. Jika ada pertentangan antara kepentingan orang hidup dan wafat, kehidupan didahulukan.
Dengan kerangka berpikir ini, banyak ulama membolehkan transplantasi organ, selama tidak ada jual beli organ dan kehormatan manusia—khususnya jenazah—tetap terjaga. Izin keluarga menjadi elemen etis yang krusial, penanda bahwa tubuh tidak diperlakukan sebagai benda yang bisa dipindah tangan secara sepihak.
Keberatan sebagian masyarakat awam—bahwa penerima donor mungkin menyalahgunakan kesehatannya sehingga “mencelakakan” pemilik organ—dinilai Quraish Shihab tidak sepenuhnya tepat. Dalam hadis riwayat Muslim, Nabi menegaskan bahwa Allah tidak melihat rupa dan jasad manusia, melainkan hati dan perbuatannya. Seseorang tidak dibebani dosa dari tindakan yang bukan kehendaknya. Donor organ yang berniat memberi manfaat, meskipun kelak penerimanya berbuat buruk, tidak menanggung dosanya.
Lebih jauh, izin keluarga dapat menjadi pagar moral. Bila mereka menduga kuat bahwa pemberian itu akan membawa kebaikan, maka tanggung jawab moral telah terpenuhi.
Al-Quran juga memberikan horizon etis yang jauh lebih luas. Dalam Surah Al-Maidah (5):32 ditegaskan: “Barang siapa menghidupkan seorang manusia, seakan-akan ia telah menghidupkan seluruh manusia.” Frasa “menghidupkan” di sini, kata Quraish Shihab, bukan hanya menjaga hidup, tetapi juga memperpanjang harapan hidup—selama tidak melanggar hukum agama.
Penekanan ini penting dalam diskursus medis modern. Dalam prosedur kritis seperti transplantasi, manusia bergerak di ruang tipis antara teknologi dan etika. Namun pesan Al-Quran memberi arah: upaya medis adalah bagian dari menjaga kehidupan, satu dari tujuan utama syariat.
Tetapi Islam tetap mengajarkan bahwa ikhtiar medis hanyalah “sebab”. Kesembuhan tetap berada pada kehendak Tuhan. Nabi Ibrahim mengucapkannya dengan jernih dalam Al-Syu’ara’ (26):80: “Apabila aku sakit, Dialah Allah yang menyembuhkan aku.”
Dalam terang tafsir itu, perdebatan tentang transplantasi bukan lagi sekadar soal medis atau halal-haram. Ia adalah cermin dari bagaimana umat memahami hubungan antara takdir dan ikhtiar, antara tubuh sebagai amanah dan kehidupan sebagai karunia yang harus dijaga. Tafsir membuka ruang luas bagi sains, selama sains berjalan searah dengan prinsip penghormatan terhadap martabat manusia. Islam tidak menutup pintu bagi kemajuan medis—justru memintanya berjalan bersama nurani.
(mif)