LANGIT7.ID- Pada suatu hari, seorang sahabat datang kepada Nabi Muhammad. Ia mengeluhkan penyakit perut saudaranya yang terus datang meski berbagai obat dicoba. Nabi hanya menjawab pendek: “Perut saudaramu berbohong.” Riwayat Bukhari itu kini kerap dikutip para ulama untuk menjelaskan bahwa tidak semua keluhan lahir dari tubuh. Ada yang bersumber dari jiwa, dari simpul-simpul mental yang bergeser dari keseimbangan.
Dalam
Wawasan Al-Quran, Prof. Dr. M. Quraish Shihab menulis bahwa Al-Quran bukan asing terhadap dunia mental manusia. Kata
fi qulubihim maradh — dalam hati mereka ada penyakit — muncul tidak kurang dari sebelas kali. Kata
qalb, tulis Ibnu Faris, dipahami dalam dua makna: akal dan hati. Sementara
maradh berarti sesuatu yang menggoyahkan keseimbangan dan mengantarkan manusia pada gangguan, baik fisik maupun mental.
Dari sini lahir pembagian yang menarik. Penyakit akal yang “berlebihan” tampak dalam kelicikan dan manipulasi, sedangkan yang “kekurangan” berwujud ketidaktahuan — bahkan ketidaktahuan ganda: tidak tahu dan tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Pada wilayah mental, berlebihan menghasilkan angkuh, benci, dendam, fanatisme, rakus, dan kikir. Kekurangan menghasilkan takut, cemas, pesimisme, dan rendah diri. Daftar ini seolah ringkasan gejala psikologis modern, hanya disampaikan 14 abad lebih awal.
Tetapi perhatian Islam terhadap kesehatan mental tidak berhenti pada perilaku orang dewasa. Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa kompleks kejiwaan bisa terbentuk bahkan sejak janin masih dalam kandungan. Di masa itu, Nabi telah mengingatkan agar orang tua menjaga suasana batin: ketenangan, etika, dan akhlak menjadi benteng psikologis pertama janin.
Dalam sebuah riwayat, seorang ibu merenggut anaknya dengan kasar ketika sang bayi mengompol hingga membasahi pakaian Nabi. Nabi menegur lembut: “Jangan hentikan pipisnya, jangan renggut dia dengan kasar. Pakaian ini dapat dibersihkan, tetapi apa yang dapat menjernihkan hati anak yang engkau renggut dengan kasar?”
Pesan itu menyentuh isu yang hari ini menjadi bahan kajian para psikolog perkembangan: pengalaman awal yang keras dapat membekas hingga dewasa. Quraish Shihab menekankan bahwa sejumlah kompleks dewasa memang dapat ditelusuri sumbernya ke masa kecil—jauh sebelum seorang anak mampu memahami bahasa atau membentuk ingatan verbal.
Dalam pandangan Islam, kesehatan mental tidak berdiri sendiri. Ia terhubung dengan kondisi spiritual. Al-Quran menyebut bahwa pada hari akhir, yang berguna hanyalah orang yang datang dengan hati yang sehat. Siapakah pemilik hati yang sehat itu? Mereka yang terbebas dari penyakit mental, baik yang bersifat kelebihan maupun kekurangan.
Kesehatan hati, dalam tafsir Quraish Shihab, diperoleh melalui dua jalan: tobat dan kedekatan kepada Allah. Al-Quran menegaskan: “Dengan mengingat Allah, jiwa memperoleh ketenangan.” Ayat itu bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi rumus emosional. Ketika ingatan kepada Tuhan hadir, ambang kecemasan turun, dan jiwa manusia menemukan titik tenangnya.
Perbincangan tentang kesehatan mental di luar ranah medis sesungguhnya bukan hal baru. Ia telah hadir dalam teks-teks awal Islam, melalui tafsir, hadis, dan nasihat Nabi tentang cara memperlakukan anak-anak. Wawasan keagamaan ini seolah membangun jembatan antara dimensi klinis dan spiritual, mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar tubuh, tetapi juga jiwa yang mudah retak. Dan sebelum retakan itu membesar, Islam telah memberi obatnya: keseimbangan, kasih sayang, serta ingatan yang menenangkan.
(mif)