LANGIT7.ID-Di sebuah forum diskusi sastra, seorang mahasiswa bertanya lirih: “Mengapa kesan yang muncul, Islam kerap curiga terhadap seni?” Pertanyaan itu memantul ke ruang yang lebih luas: sejak kapan agama dan ekspresi keindahan dipertentangkan?
Dalam khazanah tafsir, seni justru ditempatkan sebagai bagian dari fitrah manusia. Quraish Shihab dalam 
Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996) menulis: “Mustahil bila Allah yang menganugerahkan manusia potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan, kemudian Dia melarangnya. Bukankah Islam adalah agama fitrah?”
Al-Qur’an bahkan menegaskan agama ini sebagai agama yang lurus, sesuai dengan fitrah penciptaan manusia: “Maka tetapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah...” (QS. al-Rum [30]: 30)
Baca juga: Kementerian Kebudayaan Gelar Harmoni Pemajuan Kebudayaan di Bali: Pameran Seni, Tradisi Adat, dan Kuliner Nusantara Antara Fitrah dan KekhawatiranNamun, kesan sebaliknya tak bisa dinafikan. Ada pandangan historis yang membekas: seni dianggap rawan menjerumuskan. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata bahwa umat Islam meninggalkan dua pertiga transaksi ekonomi karena takut riba. “Agaknya hal itu juga benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian,” tulis Quraish Shihab.
Kekhawatiran berlebihan inilah yang kerap menjadi kendala perkembangan seni dalam masyarakat Islam. Seni ditempatkan di ruang abu-abu—antara naluri keindahan dan rasa waswas terjerumus.
Padahal, Al-Qur’an berulang kali mengarahkan pandangan manusia pada jagat raya: langit yang terhias, lautan yang menyimpan perhiasan, gunung-gunung, hingga ternak di padang gembalaan. Semua dihadirkan bukan sekadar fungsi, melainkan estetika.
“Tidakkah mereka melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasi, dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?” (QS. Qaf [50]: 6)
Keindahan, dengan demikian, adalah tanda. Mengabaikannya berarti menutup salah satu jalan mengenal Sang Pencipta.
Baca juga: Dari Pejuang hingga Seniman, Prabowo Anugerahkan Tanda Kehormatan sebagai Wujud Penghargaan Negara Menggugat StereotipImam Al-Ghazali dalam 
Ihya Ulumuddin bahkan menulis, siapa yang tidak terkesan oleh bunga, musik, atau getaran nada, fitrahnya telah sakit. Nabi Saw. pun menegaskan: “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan.”
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud mencatat kisah sahabat Malik bin Mararah Ar-Rahawi yang bangga akan penampilannya. Nabi menjawab tegas: bukan itu kesombongan. Keangkuhan adalah meremehkan hak orang lain.
Dari sini, seni tak lagi dipandang lawan agama. Ia justru bagian dari laku spiritual. Pakaian indah yang dikenakan Nabi pun hanya pengingat bahwa keindahan surgawi jauh melampaui indra.
Keindahan, menurut Quraish Shihab, bisa menjadi sarana membuktikan kebesaran Tuhan—tak kalah bahkan bisa lebih kuat daripada argumen logika. Immanuel Kant dan Syaikh Abdul-Halim Mahmud pernah bersepakat: bukti wujud Tuhan terletak dalam rasa manusia.
Maka, di titik ini, seni adalah jalan. Jalan untuk menyingkap fitrah, mengenal Pencipta, sekaligus membebaskan manusia dari kecurigaan yang berlebihan. Seperti agama, seni adalah cermin fitrah itu sendiri.
Baca juga: Kementerian Kebudayaan Gelar CHANDI 2025 di Bali, Forum Budaya Internasional Promosikan Seni dan Diplomasi(mif)