LANGIT7.ID- Di tengah geliat ekonomi digital, geliat ekspor nikel, dan perang dagang global yang tak kunjung surut, umat Islam di Indonesia masih bergulat pada soal lama: kemandirian ekonomi. “Tanpa kemandirian,” tulis ulama besar Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur’an & Sunnah, (1997) “umat tidak akan memiliki ‘izzah, harga diri.”
Lebih dari dua dekade sejak buku itu terbit, pesan Qardhawi terasa kian relevan. Di kampung-kampung hingga kota besar, ekonomi umat masih bergantung pada arus modal dan produk luar negeri—dari bibit pertanian, teknologi, hingga obat-obatan. Ketergantungan ini bukan sekadar masalah dagang, tapi menyentuh urat nadi teologis: apakah umat yang bergantung masih bisa disebut berdaulat?
Dalam pandangan Qardhawi, kemandirian ekonomi bukan hanya urusan kantong, tapi juga ibadah sosial. Ia menyebutnya sebagai bagian dari
Furudhul Kifaayah—kewajiban kolektif untuk menguasai ilmu, profesi, dan keterampilan yang menopang kehidupan umat. Tanpa penguasaan atas alat produksi, umat akan menjadi “pasar bagi dunia”, bukan pelaku di dalamnya.
Di Indonesia, semangat ini sesungguhnya pernah tumbuh. Dari koperasi Haji Misbach di Surakarta hingga gerakan ekonomi Muhammadiyah dan NU di masa awal kemerdekaan, Islam pernah menjadi motor pemberdayaan rakyat. Tapi di era pasar bebas dan kapital global, idealisme itu tereduksi menjadi slogan moral, bukan strategi ekonomi.
Ketika Umat Hanya Jadi KonsumenStatistik memperlihatkan paradoks itu. Lembaga riset BPS dan KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah) mencatat, potensi ekonomi syariah Indonesia mencapai lebih dari Rp4.000 triliun per tahun. Tapi sebagian besar pelaku usahanya masih berorientasi konsumsi—bukan produksi. Dari pangan halal hingga fesyen muslim, produk lokal kalah pamor dari merek luar.
Qardhawi mengingatkan bahaya laten dari ketergantungan semacam ini. “Tidak akan ada Ustadziyat al-‘Alam—posisi umat sebagai guru dunia—bila segala alat dakwahnya masih harus dibeli dari pihak lain,” tulisnya. Dalam bahasa ekonomi modern: siapa yang menguasai teknologi, menguasai narasi.
Kini, wacana kemandirian ekonomi umat menemukan bentuk baru. Pesantren membangun unit usaha pertanian dan energi. Komunitas muda muslim berinovasi lewat
startup halal. Pemerintah pun mendorong pembiayaan syariah lewat bank wakaf mikro dan investasi sosial Islam.
Namun tantangan Qardhawi masih menggema: bagaimana menjadikan ekonomi sebagai instrumen peradaban, bukan sekadar alat konsumsi. Dalam satu ayat yang dikutipnya, Allah menegaskan: “
Dan Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (An-Nisa’: 141)
Pesan itu, bagi Qardhawi, bukan perintah untuk berkonfrontasi, melainkan dorongan untuk berdaya—agar umat Islam tidak hanya menjadi penonton di pasar global, tapi aktor yang menulis sejarahnya sendiri.
Menuju Ekonomi Ber-‘IzzahKemandirian ekonomi bukan proyek jangka pendek. Ia adalah cita-cita peradaban yang menuntut ilmu, keuletan, dan solidaritas. Qardhawi menutup gagasannya dengan satu kalimat yang tampak sederhana, tapi sarat makna: “Umat yang tak mampu membuat senjatanya sendiri, takkan pernah menjadi pemimpin dunia.”
Lebih dari seratus tahun setelah para ulama Nusantara berjuang menegakkan Islam di bawah bayang kolonialisme, pertanyaan itu kini berulang dalam bentuk baru: apakah umat masih siap menjadi subjek sejarahnya sendiri?
(mif)