LANGIT7.ID-
Agama dan
politik dalam Islam terus diperdebatkan.
Nurcholish Madjid menawarkan jalan tengah: antara wahyu dan
ijtihad.
Seperti menimba air dari
Sumur Zamzam: segar, tak habis-habis, dan selalu mengundang hasrat untuk kembali menyelaminya. Begitu Nurcholish Madjid menggambarkan topik tentang hubungan antara Islam dan politik. Bukan karena haus akan jawaban, melainkan karena kedalaman persoalan yang seolah tak berujung.
Tiga hal, kata Cak Nur—sapaan akrab Nurcholish—menjadikan diskursus ini terus berulang: kekayaan khazanah sejarah Islam, kompleksitas pendekatan, dan tarikan ideologis yang tak kunjung padam. Dalam artikelnya yang terbit di "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina", Cak Nur menegaskan bahwa hubungan agama dan politik bukanlah perkara teknis belaka, melainkan simpul dari nilai, sejarah, dan nalar manusia.
Baca juga: Lima Kaidah Dasar Mazhab Syafi’i dalam Penetapan Hukum Menurut Nurcholish Madjid Warisan MadinahPijakan awal Cak Nur dimulai dari kota suci Madinah. Di sana, Nabi Muhammad tampil sebagai figur ganda: Rasul yang membawa wahyu dan kepala negara yang memimpin masyarakat. Dualitas peran ini—yang satu bersifat ilahiah, yang lain duniawi—telah menjadi fondasi konseptual yang kaya tapi juga memicu tafsir yang beragam.
Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi tak boleh dibantah. Tapi sebagai kepala negara, ia bermusyawarah, mendengar, dan bahkan mengikuti pendapat orang lain. Di titik inilah, menurut Cak Nur, terlihat jelas batas antara apa yang sakral dan apa yang rasional. Antara agama yang mutlak dan politik yang nisbi.
“Politik, dalam struktur dan teknisnya, adalah wilayah manusia. Tapi secara etis dan moral, ia tak boleh lepas dari nilai-nilai agama,” tulis Cak Nur.
Politik dan IjtihadMenariknya, Cak Nur tak menawarkan dikotomi mutlak antara agama dan politik. Ia justru menjembatani keduanya melalui konsep ijtihad. Artinya, dalam pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan, manusia diberi kebebasan untuk berpikir, berdebat, dan memutuskan. Tapi kebebasan itu tetap berpijak pada nilai keadilan, kemaslahatan, dan akhlak mulia—nilai-nilai yang bersumber dari agama.
Baca juga: Urgensi Kajian Kritis Hadis di Era Modern Menurut Nurcholish Madjid Di sinilah letak kejelian Cak Nur membaca dinamika zaman. Ia sadar, umat Islam hari ini hidup dalam realitas politik yang beragam: dari kerajaan, republik, hingga negara-negara demokratis sekuler. Masing-masing sistem itu, menurutnya, bisa diakomodasi selama tidak menyimpang dari prinsip keadilan yang menjadi roh ajaran Islam.
Dengan kata lain, Cak Nur menolak klaim absolut satu model negara Islam. Kekhalifahan, misalnya, hanya ia pandang sebagai salah satu bentuk sejarah, bukan harga mati dalam doktrin. Ia menulis, "Tidak satu pun variasi bentuk pemerintahan dalam sejarah Islam yang bisa dianggap secara doktrinal sebagai paling absah, kecuali masa Khulafaur Rasyidun."
Kritik atas ReduksionismeDalam diskursus yang penuh tarikan emosional dan ideologis ini, Cak Nur memberi peringatan keras terhadap bahaya penyederhanaan. Baginya, memaknai agama sebagai sistem politik praktis atau menyulap politik sebagai instrumen sakral adalah bentuk reduksionisme yang merugikan.
Ia justru mengajak umat Islam melihat bahwa tantangan masa kini bukan sekadar memilih sistem, tapi bagaimana sistem itu bisa menjamin keadilan, kesejahteraan, dan partisipasi publik. Politik yang baik, dengan begitu, bukan yang paling Islami secara simbolik, melainkan yang paling etis secara substantif.
Baca juga: Nurcholish Madjid: Sunnah Tidak Terbatas Hanya pada Hadis Relevansi Tak Pernah UsangTak seperti perdebatan ideologis yang kerap berujung pada kebuntuan, tulisan Cak Nur justru menawarkan pelunakan, sebuah jalan tengah berbasis rasionalitas dan spiritualitas. Ia tak menghapus batas antara agama dan politik, tapi menegaskan fungsi dan wilayah masing-masing.
Dalam dunia yang makin plural dan terhubung ini, warisan pemikiran seperti milik Cak Nur menemukan relevansinya kembali. Ketika sebagian kelompok terus menggugat keabsahan negara modern dan mengaku sistem khilafah sebagai solusi tunggal, pandangan Nurcholish menjadi jangkar yang menjaga agar diskusi tetap waras dan produktif.
Karena, seperti menimba air Zamzam, membicarakan Islam dan politik bukan untuk menuntaskan, tapi untuk terus menyegarkan.
(mif)