LANGIT7.ID – Ketika demokrasi Barat kerap dielu-elukan sebagai sistem terbaik, Prof Dr Quraish Shihab menawarkan cara pandang yang lebih dalam. Dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan), ia menulis: “Al-Qur’an dan Sunnah menetapkan prinsip-prinsip pokok kehidupan politik: syura, keadilan, tanggung jawab, dan jaminan hak-hak manusia.”
Musyawarah atau syura, bagi Quraish bukan sekadar tradisi, tapi prinsip moral dan spiritual. Ia adalah bagian dari sistem ilahi yang menolak kediktatoran, namun juga berhati-hati terhadap tirani mayoritas.
Quraish membagi model pengambilan keputusan ke dalam tiga bentuk: oleh penguasa, oleh minoritas, dan oleh mayoritas. Demokrasi modern cenderung memilih yang terakhir. Namun, Islam, katanya, memberi warna berbeda.
“Syura yang diwajibkan oleh Islam tidak dapat dibayangkan berwujud seperti keputusan penguasa,” tulisnya. Tapi ia juga menolak dominasi minoritas. Dalam pandangannya, syura adalah proses kolektif yang dilakukan oleh “orang-orang pilihan yang memiliki sifat terpuji, tanpa kepentingan pribadi atau golongan.”
Mayoritas Tak Selalu BenarBeberapa sarjana Islam modern memang menolak prinsip mayoritas dengan dalih Al-Qur’an: “Kebanyakan kamu tidak menyenangi kebenaran” (QS Al-Zukhruf [43]: 78).
Namun, Quraish menegaskan konteks ayat itu berbeda. Ia bukan bicara soal musyawarah, melainkan tentang sikap masyarakat yang menolak wahyu. “Menolak mayoritas dalam konteks politik,” tulis Quraish, “adalah keliru, karena syura menuntut partisipasi dan keterlibatan bersama.”
Meski begitu, ia memberi catatan penting: keputusan mayoritas bukanlah harga mati. Musyawarah, kata Quraish, idealnya dilakukan berulang kali hingga tercapai mufakat. Mayoritas hanya menjadi pilihan terakhir ketika jalan musyawarah buntu.
Syura Bukan Demokrasi SekularQuraish Shihab juga menyoroti perbedaan mendasar antara syura dan demokrasi sekular. Dalam demokrasi, hampir semua hal bisa diperdebatkan dan diputuskan secara bebas. Tapi dalam syura, batasnya jelas: tidak boleh menentang ketetapan Tuhan yang bersifat pasti.
Ia menulis dengan tegas: “Dalam syura yang diajarkan Islam, tidak dibenarkan memusyawarahkan sesuatu yang telah ditetapkan Tuhan secara tegas.”
Di sinilah letak “perjanjian Ilahi” yang membedakan pemimpin dalam Islam dari sekadar kontrak sosial. Dalam pandangan Quraish, kekuasaan bukan hanya hasil pilihan rakyat, tetapi juga amanah dari Tuhan yang menuntut tanggung jawab moral.
Hal yang menarik, Quraish menolak gagasan bahwa Islam harus meniru model politik tertentu, baik Timur maupun Barat. Menurutnya, Al-Qur’an memang memerintahkan musyawarah, tetapi tidak menetapkan bentuknya. “Setiap masyarakat,” tulisnya, “memiliki budaya dan kondisi khas yang menuntut sistem syura-nya sendiri.”
Ia mengutip QS Al-Maidah [5]: 48: “Setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”
Bagi Quraish, inilah ruang fleksibilitas Islam: prinsipnya tetap, bentuknya bisa beragam. Musyawarah dapat mengambil wujud parlemen modern, majelis ulama, atau forum rakyat—selama substansinya tetap: partisipasi, keadilan, dan keterikatan pada nilai-nilai Ilahi.
(mif)