LANGIT7.ID-Dalam masyarakat yang kian terbelah oleh sekat ideologi dan identitas, gagasan tentang ukhuwah—persaudaraan—sering terdengar klise. Kata itu muncul di mimbar, di media sosial, di spanduk organisasi keagamaan. Namun, sebagaimana dikupas Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an, makna ukhuwah jauh lebih dalam daripada sekadar ajakan bersatu. Ia menuntut perhatian.
“Ukhuwah,” tulis Quraish, “terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti memperhatikan.” Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan sejati menuntut adanya kepedulian aktif antara mereka yang merasa bersaudara. Artinya, seseorang tidak bisa mengaku berukhuwah jika tidak menaruh perhatian pada nasib saudaranya.
Quraish lalu menelusuri akar kebahasaan dan konteks Al-Qur’an. Dalam tafsirnya, kata
akh (saudara) muncul 52 kali dalam kitab suci—dengan beragam makna. Ia bisa berarti saudara kandung, seperti dalam ayat-ayat tentang warisan (QS. Al-Nisa [4]: 23), atau saudara sedarah seperti Musa dan Harun (QS. Thaha [20]: 29–30). Tetapi Al-Qur’an juga memperluas makna itu: Hud disebut “saudara kaum ‘Ad” (QS. Al-A’raf [7]: 65), meski kaum itu menentangnya. Bahkan perselisihan pun tak menghapus sebutan saudara, sebagaimana kisah dua orang yang bersengketa dalam QS. Shad [38]: 23.
Puncaknya, Al-Qur’an menegaskan dimensi spiritual ukhuwah dalam ayat yang masyhur: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
Namun bagi Quraish, ayat itu bukan batas, melainkan pintu. Ia menulis bahwa Al-Qur’an memperkenalkan macam-macam persaudaraan:
ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seiman),
ukhuwah insaniyah (kemanusiaan), bahkan
ukhuwah makhlukiyah (kesemakhlukan). Semua lahir dari satu kesadaran: bahwa manusia diciptakan dari asal yang sama, dan seluruh makhluk tunduk pada Tuhan yang sama.
Karena itu, Quraish menolak pemahaman sempit terhadap istilah
ukhuwah Islamiyah yang sering diterjemahkan sebagai “persaudaraan antar sesama Muslim”. Ia mengingatkan bahwa kata
Islamiyah seharusnya dimaknai sebagai sifat, bukan pelaku. Maka,
ukhuwah Islamiyah bukanlah persaudaraan eksklusif antarumat Islam, melainkan persaudaraan yang bersifat Islami—yakni persaudaraan yang berlandaskan nilai-nilai Islam: keadilan, kasih sayang, dan kepedulian.
Pandangan ini menempatkan ukhuwah bukan sebagai seruan moral yang abstrak, melainkan etika sosial yang konkret. Ia menuntut empati lintas batas, bahkan terhadap yang berbeda agama, bangsa, atau status sosial. Persaudaraan, dalam tafsir Quraish, adalah kerja memperhatikan: memperhatikan manusia karena kemanusiaannya, bukan karena kesamaannya.
Dalam hadis yang dikutip Quraish, Nabi Muhammad bersabda: “Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya.” Ketika ditanya bagaimana menolong orang yang berbuat aniaya, Nabi menjawab, “Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya.” (HR. Bukhari)
Hadis itu, tulis Quraish, menunjukkan dimensi tanggung jawab dalam ukhuwah. Persaudaraan bukan hanya soal simpati, tetapi juga keberanian untuk mencegah sesama dari kesalahan. Sebuah bentuk perhatian yang aktif dan etis.
Di tengah zaman ketika perbedaan sering dijadikan bahan bakar konflik, tafsir Quraish Shihab ini terasa seperti napas panjang. Ia mengingatkan bahwa ukhuwah bukan proyek politik, bukan slogan dakwah, melainkan laku kemanusiaan yang diajarkan Al-Qur’an—perhatian yang tumbuh dari cinta dan iman.
(mif)