Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 30 Oktober 2025
home masjid detail berita

Snouck Sebagai Wedana: Dari Pengamat Menjadi Pengendali Narasi Islam di Hindia Belanda

miftah yusufpati Selasa, 28 Oktober 2025 - 05:45 WIB
Snouck Sebagai Wedana: Dari Pengamat Menjadi Pengendali Narasi Islam di Hindia Belanda
Snouck Hurgronje. Foto: Ist
LANGIT7.ID-Pada awal 1890-an, di sela-sela penyelidikannya tentang pemberontakan Aceh, Christiaan Snouck Hurgronje memerankan dua sosok yang kontras: di satu sisi, seorang orientalis Belanda yang menulis dengan kecermatan akademis; di sisi lain, seorang wedana — pejabat pribumi imajiner — yang berbicara seolah mewakili suara lokal. Dalam surat-surat berseri yang ia tulis untuk koran progresif De Locomotief (1891–1892), Snouck mencoba menampilkan dirinya bukan sekadar peneliti, tapi “orang dalam” yang paham denyut Islam di tanah jajahan.

Namun di balik narasi lembut dan gaya tutur simpatik itu, Snouck sedang membangun proyek yang lebih besar: menafsirkan Islam Nusantara agar bisa dikendalikan oleh kolonialisme Belanda. Seperti dicatat Budhy Munawar-Rachman dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Yayasan Paramadina, 1994), Snouck bukan hanya antropolog lapangan, melainkan juga “arsitek politik etis” yang menggunakan ilmu sebagai alat legitimasi kekuasaan.

Snouck mengawali proyek ini dengan meniru gaya Poensen, misionaris yang menulis kisah-kisah kehidupan desa dengan rasa iba kolonial. Tapi berbeda dari Poensen, Snouck menempatkan dirinya “di atas orang desa”—bukan sebagai teman, melainkan pengawas. Melalui sosok wedana, ia menulis tentang kehidupan orang Jawa “mulai ayunan hingga pondok”, menggambarkan ritus kelahiran, pernikahan, hingga keintiman spiritual di pesantren.

Nada narasinya lembut tapi paternalistik. Islam digambarkan sebagai dunia yang “penuh ruh dan intuisi”, sedangkan Barat tampil sebagai rasional dan modern. “Kebijaksanaan intuitif orang-orang lokal terlalu sering diabaikan oleh para mandor Eropa yang kasar,” tulisnya—sebuah kritik halus terhadap kolonialisme yang justru menguatkan peran dirinya sebagai pengamat yang paling “adil”.

Namun, seperti diungkap Karel Steenbrink dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam (Brill, 1993), sikap simpatik Snouck kerap menutupi ambisi pengendalian. Ia bukan sekadar memahami masyarakat Muslim Jawa, tetapi juga ingin mengetahui “bagaimana Islam bisa dikendalikan tanpa menimbulkan perlawanan.”

Santri, Tarekat, dan Kecurigaan Kolonial

Dalam surat-suratnya, wedana Snouck mencatat perubahan zaman: semakin banyak santri, semakin banyak doa berbahasa Arab, dan meningkatnya pengaruh haji dan orang Arab. “Haji dan orang Arab masih menjadi momok menakutkan,” tulisnya, tapi di sisi lain, orang Jawa justru bercita-cita mengirim anak-anak mereka ke pesantren.

Snouck mencatat fenomena ini dengan campuran kekaguman dan waswas. Para santri, katanya, memiliki pengetahuan geografis yang lebih baik daripada para pejabat kolonial—karena mereka mengembara dari pondok ke pondok, menanam kopi sambil belajar kitab.

Di balik ketertarikan antropologis itu, terselip kecemasan politik. Islam, bagi Snouck, adalah kekuatan sosial yang bisa membakar perlawanan. Maka, ia mendorong pemerintah kolonial untuk “membedakan antara Islam ritual dan Islam politik”—nasihat yang kelak menjadi dasar kebijakan Islam pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20.

Tarekat dan Politik Kekuasaan

Salah satu bagian paling menarik dalam surat-surat Snouck adalah pengakuan wedana-nya tentang pengalamannya mengikuti tarekat Syattariyyah. Ia menulis dengan detail: membaca Fatihah, mengucap syahadat, berzikir seratus kali “la ilaha illa Allah,” hingga menerima bé’at—sumpah setia antara murid dan guru.

Bagi Snouck, pengalaman itu bukan spiritualitas, melainkan data. Ia menganalisis hubungan murid-guru dalam tarekat sebagai bentuk ketaatan absolut yang, dalam konteks kolonial, bisa menjadi ancaman. Namun, menariknya, ia juga menolak pandangan Eropa yang memandang tarekat semata-mata sebagai “fanatisme buta”.

Dalam gaya khasnya yang ironis, wedana Snouck menulis: “Seorang guru tarekat yang pandai dan baik akan membimbing orang-orang ke jalan agama, dan mereka akan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap hati manusia ketimbang guru kita yang biasa.”

Pernyataan itu ambigu: antara pengakuan dan peringatan. Di satu sisi, Snouck mengakui kekuatan spiritual Islam; di sisi lain, ia menyerukan agar kolonialisme tetap waspada terhadap para guru “yang pandai tapi berniat jahat”.

Dari Kolonialisme ke Ilmu Pengetahuan

Dalam laporannya tentang pemberontakan Cilegon (1888), Snouck menolak teori bahwa peristiwa itu didorong oleh jaringan tarekat internasional. Ia menyalahkan “fanatisme lokal, kebodohan pejabat, dan lemahnya pengawasan.” Bagi Snouck, kegagalan kolonialisme bukan karena Islam terlalu kuat, tetapi karena Belanda terlalu bodoh memahami Islam.

Sikap ini menunjukkan paradoks Snouck: antara akademisi yang objektif dan pejabat kolonial yang manipulatif. Ia mengkritik rekan-rekannya sendiri, seperti van Sandick, tapi juga menyusun laporan yang kelak menjadi dasar strategi “politik Islam” Belanda di Aceh dan Jawa Barat.

“Snouck adalah contoh paling jelas dari ilmuwan kolonial yang menulis sejarah sambil membentuknya,” tulis Anthony Reid dalam The Contest for North Sumatra (Oxford University Press, 1969).

Ia adalah wedana yang menulis surat-surat lembut dari balik menara kekuasaan—dan sekaligus arsitek yang menata hubungan antara Islam dan kolonialisme dengan bahasa kebijakan.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 30 Oktober 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:54
Maghrib
17:49
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan