LANGIT7.ID- Di sebuah ruang arsip Universitas Leiden yang lembap dan berdebu, tersimpan selembar lontar kuno dari Hindia Timur. Bagi profesor bahasa Yunani, Bonaventura Vulcanius (1538–1614), naskah itu tampak misterius. Ia menyebutnya teks Jepang. Padahal, isi manuskrip itu memuat ajaran Islam dari seorang tokoh bernama Seh Bari—jejak awal pengetahuan Islam di Nusantara yang justru disalahpahami sejak awal.
Begitulah yang dicatat Michael Laffan dalam
Sejarah Islam di Nusantara (Mizan, 2015). Laffan menulis dengan getir: “Kebingungan ini menjadi cermin keterputusan antara kuasa dan pengetahuan. Belanda menguasai tanahnya, tapi tidak memahami jiwanya.”
VOC bukan hanya datang untuk berdagang rempah, tapi juga membawa semangat misi Calvinis. Namun, dalam catatan Laffan, para pendeta dan pegawai VOC justru ikut berdagang—dan sebagian membawa pulang teks-teks Islam seperti Burdah karya al-Busiri, atau ‘Aqa’id karya al-Nasafi.
Ironisnya, banyak teks itu disimpan tanpa dimengerti. “Beberapa dokumen dimasukkan ke dalam kategori ‘terlalu kabur untuk dipecahkan’,” tulis Laffan. Sebuah traktat sufi berbahasa Jawa, misalnya, sudah diketahui sejak 1597, tapi baru diterbitkan secara ilmiah pada 1881—nyaris tiga abad kemudian.
Di Eropa, Islam dipandang dari jauh, lewat kabut prasangka. Bahkan kamus Melayu milik orientalis Jacob Gool (Golius) mencatat kata hajj bukan sebagai “ziarah ke Mekah”, melainkan “membaca kitab suci dalam bahasa Arab.” Sebuah kekeliruan yang nyaris puitik, dan juga tragis.
Bahasa yang Tak Dimengerti, Iman yang Tak TersampaikanLaffan mencatat bahwa VOC mendirikan sekolah-sekolah misionaris di Ambon dan Banda. Mereka menerjemahkan Injil Matius ke dalam bahasa Melayu pada 1612, tetapi dianggap mencurigakan karena “terlalu Katolik.” Seorang misionaris menulis getir: “Mengajarkan agama dengan bahasa Melayu bagi orang Ambon beraroma Katolik.”
Perdebatan linguistik itu menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam: ketakutan. “Bahasa Melayu menjadi senjata kaum Muslim,” catat Laffan, “bahasa yang menyebarkan Islam lebih cepat daripada pasukan mana pun.”
Para misionaris Calvinis berupaya membaliknya—menjadikan Melayu alat konversi. Namun, upaya itu sering gagal karena mereka tidak memahami bahwa di balik kata ‘masjid’ atau ‘maulana’, tersimpan konsep dunia dan akhirat yang kompleks.
Kebingungan ini tak berhenti di lapangan. Di Leiden, Collegium Indicum didirikan tahun 1622 untuk melatih penginjil agar menguasai bahasa Melayu sebelum berangkat ke Hindia. Tapi, kata Laffan, “dalam dua dekade, hanya dua lusin lulusan yang dikirim. Sisanya tenggelam dalam arsip dan ilusi.” Pada 1632, lembaga itu ditutup oleh VOC. Pengetahuan dianggap tidak lagi menguntungkan.
Belanda akhirnya memilih jalan pintas: melatih anak-anak pegawai kolonial di Batavia. Tapi di antara laporan-laporan yang dikirim ke Amsterdam, satu kalimat dari seorang misionaris di tahun 1638 terasa seperti epitaf: “Tak satu pun dari surat kami dibalas. Pengetahuan di sini seperti tenggelam di lautan rempah.”
Kebingungan yang Tak Pernah UsaiBagi Laffan, episode ini bukan sekadar sejarah orientalisme, melainkan cermin kesalahpahaman kolonial terhadap Islam sebagai realitas hidup. “Belanda berupaya menaklukkan tubuh Hindia, tapi tidak pernah mengerti jiwanya,” tulisnya.
Kamus, sekolah, dan gereja didirikan, tapi tak satu pun memahami bahwa Islam di Nusantara bukan hanya teks, melainkan tradisi yang hidup dalam bahasa, adat, dan keseharian.
Dari naskah lontar yang disangka Jepang itu, sejarah memberi pesan pahit: pengetahuan tanpa empati hanyalah kekuasaan yang kehilangan arah.
Dan di antara kabut itu, Islam di Nusantara tetap tumbuh—dengan caranya sendiri, di tanah yang tak pernah tunduk sepenuhnya pada tafsir siapa pun.
(mif)