LANGIT7.ID-Dalam Al-Qur’an, nama Haman muncul enam kali. Selalu ia berdampingan dengan Fir’aun—sang diktator Mesir—dengan peran unik: menteri yang setia, birokrat ulung, dan politisi licin. Bila Fir’aun adalah simbol tirani, maka Haman adalah wajah oportunisme politik yang menjual kepandaian untuk melanggengkan kekuasaan zalim.
Fir’aun berkata kepada Haman: “Bangunkanlah bagiku sebuah menara tinggi agar aku dapat melihat Tuhan Musa itu.” (QS al-Qashash: 38). Perintah itu absurd, tapi Haman tak membantah. Ia justru mengangguk, menuruti, dan menjadikan kecerdikannya sebagai alat propaganda tiran.
Kisah Haman barangkali ringkas, tetapi gema politiknya panjang. Ulama klasik dan cendekiawan kontemporer melihat tokoh ini bukan hanya pejabat masa lalu, melainkan simbol abadi politikus oportunis yang rela menukar nurani demi kuasa.
Baca juga: Gelang Emas Firaun Berusia 3.000 Tahun Hilang dari Museum Dalam T
afsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibn Katsir menegaskan Haman sebagai menteri terdekat Fir’aun yang sebenarnya tahu kebenaran Musa. Tetapi ia memilih menutup hati, demi status dan kedudukan. Ia adalah wajah pejabat yang cerdas, namun tunduk penuh pada rezim.
Sayyid Qutb dalam
Fi Zhilal al-Qur’an menyebut Haman sebagai arsitek politik Fir’aun. Ia yang merancang propaganda, membenarkan klaim penguasa, bahkan menggunakan teknologi dan rekayasa sosial demi memperkuat citra Fir’aun. “Haman bukan sekadar pengikut,” tulis Qutb, “ia adalah otak di balik tirani.”
Syaikh Yusuf Qardhawi dalam
Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim (1997) menambahkan, dosa Haman terletak pada pilihan sadar: ia tahu Fir’aun dusta, tapi justru ikut mendukung. Kesalahannya bukan kebodohan, melainkan kepentingan.
Hamanisme—jika boleh meminjam istilah—adalah arketipe yang terus berulang. Ulama Mesir kontemporer, Muhammad Abu Zahrah, menulis bahwa Haman adalah simbol politikus yang kehilangan integritas: “Ia tahu, tapi diam; ia bisa menolak, tapi memilih tunduk.”
Fenomena ini tak asing di dunia modern. Dari birokrat yang menyulap laporan demi menyenangkan penguasa, teknokrat yang menghalalkan kebijakan menindas, hingga politisi yang menjual prinsip demi kursi—semuanya adalah wajah-wajah Haman.
Fazlur Rahman dalam
Islam and Modernity (1982) mengingatkan, kisah Haman adalah pelajaran tentang bahaya politik tanpa etika. Dalam masyarakat modern, politik memang butuh kompromi. Tapi kompromi berbeda dengan oportunisme: yang pertama mencari titik temu, yang kedua menjual prinsip.
Baca juga: Kisah Siti Asiyah, Istri Firaun yang Dijamin Masuk Surga Kontras dengan MusaNabi Musa datang membawa kebenaran. Fir’aun menolak dengan arogansi, sementara Haman menolak dengan kepatuhan buta. Dalam tafsir
al-Mishbah, M. Quraish Shihab menekankan, posisi Haman lebih berbahaya karena ia memberi legitimasi. Fir’aun tanpa Haman hanyalah penguasa kasar. Tapi dengan Haman, ia punya otak, strategi, dan justifikasi politik.
Al-Qur’an mencatat, keduanya akhirnya ditenggelamkan: Fir’aun, Haman, dan bala tentaranya. Hukuman itu bukan sekadar tragedi, tetapi pesan simbolik: rezim zalim dan politisi oportunis sama-sama berakhir hina.
Dalam politik Indonesia, wajah Haman bisa mudah dikenali. Mereka yang memoles citra pemimpin otoriter. Mereka yang membenarkan kebijakan diskriminatif. Mereka yang berkelit dari kebenaran demi menjaga kursi.
Kritik Al-Qur’an terhadap Haman sejatinya bukan sekadar kisah. Ia adalah peringatan: politikus yang menjual akal dan nurani bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga menjerumuskan dirinya pada kehancuran.
Baca juga: Kisah Qarun Sang Crazy Rich Era Firaun yang Disinggung Cak Nun Akhir kata, Fir’aun adalah diktator. Qarun kapitalis rakus. Tapi tanpa Haman, tirani tak punya strategi. Ia adalah perekat dari koalisi gelap kekuasaan. Dan sejarah Al-Qur’an mengajarkan, oportunisme bukan sekadar kelemahan moral pribadi, melainkan ancaman serius bagi sebuah bangsa.
Seperti ditulis Sayyid Qutb, “Haman adalah wajah politik yang bersedia mengkhianati kebenaran untuk mempertahankan kursi di samping tiran.” Kisahnya pendek, tapi pesannya panjang: umat beriman harus waspada terhadap politik tanpa nurani.
(mif)