LANGIT7.ID-Di awal abad ke-17, dari pesisir Aceh hingga pelabuhan Banten, para ulama Nusantara merintis jalur panjang ke pusat-pusat ilmu Islam dunia. Mereka menempuh perjalanan berbulan-bulan, dari Gujarat, Kairo, hingga Madinah. Perjalanan itu bukan sekadar ibadah haji, melainkan juga upaya mencari legitimasi, otoritas tarekat, dan jawaban bagi perdebatan teologi yang mengguncang kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Michael Laffan, dalam
The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011; terj. Indonesia, 2015), menyebut para “Jawi”—sebutan untuk muslim Asia Tenggara di Mekah—sebagai kunci transmisi gagasan Islam dari dunia Arab ke Nusantara. Dari merekalah lahir ulama berkaliber internasional seperti Abd al-Ra’uf al-Sinkili, Syekh Yusuf al-Maqassari, hingga Abd al-Muhyi Pamijahan.
Salah satu simpul penting jejaring itu adalah Ibrahim al-Kurani (1615–1690), ulama besar yang lahir di Kurdistan. Setelah berkelana ke Kairo pada 1650 dan berinteraksi dengan cendekiawan Mesir, al-Kurani menetap di Madinah pada 1651. Ia menjadi wakil Ahmad al-Qusyasyi, guru besar tarekat Syattariyyah.
Dalam catatan biografi Arab, al-Kurani lebih dikenal sebagai Naqsyabandi. Namun, bagi orang Jawi, dialah figur sentral yang menjawab kegelisahan teologis mereka. Antusiasme ulama Nusantara terhadap Tuhfah karya al-Burhanpuri, teks mistik populer di kalangan Aceh dan Banten, mendorong al-Kurani menulis risalah
Ithaf al-Dzaki—“Persembahan kepada Yang Cerdik”—khusus untuk mereka.
“Banyak pertanyaan datang dari orang Jawi,” tulis Mustafa b. Fath Allah al-Hamawi (w. 1712), yang pernah berjumpa al-Kurani pada 1675. Pertanyaan itu menyangkut penafsiran filsafat wujud: apakah Tuhan menyatu dengan manusia?
Al-Kurani menanggapi dengan sikap lunak. Berbeda dengan ulama Mesir al-Manufi yang keras, ia menolak vonis mati bagi mereka yang salah paham. Menurutnya, kekeliruan itu lahir dari tafsir esoterik yang terlalu jauh atas Ibn al-‘Arabi. “Tujuan akhir mistikus adalah kembali kepada Sang Pencipta,” tulisnya dalam
Shathb al-Wali.
Jaringan Aceh dan BantenDi Aceh, Abd al-Ra’uf al-Sinkili (1615–1693) menjadi murid paling berpengaruh al-Kurani dan al-Qusyasyi. Atas permintaan Ratu Safiyyat al-Din, ia menulis
Mir’at al-Tullab (Cermin para Pencari), mencoba menengahi antara kaum mistikus Hamzah Fansuri dan ulama ortodoks seperti Nur al-Din al-Raniri.
Al-Sinkili membawa Syattariyyah ke level baru. Ia melahirkan murid-murid penting: Abd al-Muhyi Pamijahan di Jawa Barat dan Syekh Burhanuddin di Ulakan, Minangkabau. Dari tangan mereka,
Tuhfah terus diajarkan, meski dengan tafsir hati-hati.
Puncak karya al-Sinkili adalah
Tarjuman al-Mustafid, tafsir Alquran lengkap pertama dalam bahasa Melayu. Tafsir ini bersumber dari tradisi Jalalain Mesir—milik al-Mahalli dan al-Suyuti—menegaskan betapa Islamisasi Nusantara tak bisa dilepaskan dari arus keilmuan Kairo dan Hijaz.
Syekh Yusuf, Dari Gowa ke Tanjung HarapanKisah lain datang dari Sulawesi. Yusuf al-Maqassari (1627–1699), lahir di Gowa, berangkat ke Arab pada 1644. Ia singgah di Banten, bersahabat dengan putra mahkota yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa, lalu melanjutkan ke Aceh. Yusuf menimba ilmu dari al-Kurani di Madinah, bergabung dengan Naqsyabandiyyah, sebelum akhirnya memilih tarekat Khalwatiyyah di Damaskus.
Ketika pulang pada 1660-an, Yusuf disambut sebagai ulama besar. Ia menikah dengan keluarga Sultan Ageng, dan ketika Belanda menyerbu Banten pada 1683, Syekh Yusuf tampil memimpin perlawanan. Meski akhirnya ditangkap dan diasingkan ke Ceylon, lalu Tanjung Harapan, ia tetap menulis dan berkorespondensi dengan murid-muridnya di Nusantara.
Laporan misionaris Prancis, Nicholas Gervaise, pada 1688 menyebut keberadaan komunitas tarekat di Makassar yang disiplin: tinggal di sel-sel kecil, hidup asketis, dan dipimpin ulama bergelar Agguy—kata serapan dari gelar Mesir Hajji.
Kosmopolitanisme Islam NusantaraDari Aceh hingga Gowa, benang merahnya jelas: Islam di Nusantara tumbuh bukan sekadar lewat pedagang Gujarat atau mubalig Hadramaut, melainkan lewat jaringan ulama Jawi yang menimba ilmu di Kairo, Madinah, hingga Damaskus.
Laffan menegaskan, abad ke-17 adalah momen ketika Mekah dan Madinah menjadi “kampus global” bagi orang Jawi. Dari sana lahir tafsir Alquran Melayu, pengajaran Syattariyyah, hingga gerakan perlawanan politik melawan VOC.
Kosmopolitanisme itu menjadikan Islam Nusantara unik: bercorak tarekat, berakar di tanah lokal, tapi sekaligus terhubung erat dengan pusat dunia Islam. Jejaknya masih terasa—dari makam Syekh Yusuf di Cape Town yang diziarahi hingga kini, sampai tarekat Syattariyyah yang masih bertahan di Minangkabau dan Pamijahan.
(mif)