LANGIT7.ID-Suatu hari KH Ali Yafie, ulama fiiqih asal Sulawesi Selatan yang dikenal berhati teduh dan berpikiran tajam, pernah ditanya oleh muridnya: “Bagaimana mungkin ayat suci bisa saling meniadakan?”
Ia tersenyum. “Bukan meniadakan,” katanya pelan, “tapi menjelaskan.”
Dalam naskahnya
Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an, Ali Yafie menulis dengan gaya seorang ahli ushul fiqh yang juga sosiolog hukum: bahwa wahyu turun berproses, menyesuaikan konteks sejarah, tapi tetap dalam satu kesatuan makna. “Al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dha,” tulisnya—Al-Qur’an menafsirkan dirinya sendiri.
Bagi Ali Yafie, memahami Al-Qur’an tak cukup hanya dengan kaidah bahasa. Ia menuntut interpretasi historis, pemahaman terhadap konteks sosial di balik turunnya ayat (
asbabun nuzul). Sebab, hukum dalam Al-Qur’an bukan teks beku, melainkan respons terhadap realitas umat yang terus bergerak.
Dari sini, konsep
nasikh-mansukh menemukan tempatnya. Dalam istilah hukum modern, naskh bisa disamakan dengan “pencabutan” atau “revisi” atas ketentuan sebelumnya. Namun, Ali Yafie tak menganggapnya sekadar pergantian aturan. Ia menempatkan
naskh sebagai bagian dari dinamika hukum Tuhan yang menjaga keseimbangan antara keadilan dan kemaslahatan.
Logika Hukum dan WahyuImam Suyuthi dan Imam Syathibi, dua tokoh klasik yang sering dikutip Ali Yafie, menegaskan: tak ada ayat yang benar-benar bertentangan. Tapi, manusia sering menemukan gejala seolah-olah ada kontradiksi—yang kemudian diluruskan melalui metode tafsir, termasuk nasikh-mansukh. “Gejala pertentangan itulah asas metode penafsiran,” tulis Ali Yafie. “Nasikh-mansukh merupakan salah satu bagiannya.”
Dalam hukum, situasi ini lazim: undang-undang lama dicabut karena muncul peraturan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat. Maka, naskh adalah bukti bahwa wahyu tidak statis, melainkan dialogis dengan sejarah manusia.
Contoh klasik yang dikemukakan Ali Yafie terasa hidup bagi pembaca awam. Saat umat Islam masih di Madinah awal, kiblat mereka menghadap ke Baitul Maqdis. Beberapa bulan kemudian, turun perintah baru untuk menghadap ke Ka’bah. Sebuah pergantian arah yang bukan hanya fisik, tapi juga spiritual: peralihan pusat orientasi keagamaan.
Begitu pula dengan larangan khamar yang turun bertahap. Dari sekadar peringatan, kemudian pembatasan, hingga akhirnya larangan total. “Proses naskh di sini menunjukkan pendidikan moral bertingkat,” tulisnya. “Wahyu mendidik umat dengan memahami batas kemampuan manusia.”
Dalam kasus masa iddah—masa tunggu bagi janda—ayat awal menetapkan satu tahun, lalu diganti menjadi empat bulan sepuluh hari. Dalam logika hukum, perubahan ini menandai penyesuaian sosial; dalam logika spiritual, ia menunjukkan kasih Tuhan yang mempertimbangkan manusia sebagai subjek moral yang terus berkembang.
Antara Al-Qur’an dan SunnahDi sinilah perdebatan klasik mencuat: bolehkah Sunnah menghapus ayat Al-Qur’an, atau sebaliknya? Sebagian ulama mutaqaddimin (awal) membolehkannya, karena keduanya sama-sama wahyu. Tapi kelompok mutaakhkhirin (belakangan) menolak, dengan alasan hirarki sumber hukum harus dijaga.
Ali Yafie mengambil posisi hati-hati. Ia menulis bahwa perbedaan ini berakar pada pandangan tentang kedudukan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, setelah wafatnya Nabi Muhammad, tak ada lagi kemungkinan naskh. Wahyu telah sempurna, hukum telah mapan, tinggal ditafsirkan dalam konteks sosial yang baru. “Sesudah Rasulullah wafat,” tulisnya, “tidak ada lagi nasikh-mansukh yang mungkin terjadi pada syariat.”
Tulisan Ali Yafie bukan hanya risalah akademik tentang ilmu tafsir, tetapi juga refleksi filosofis tentang cara umat beragama menghadapi perubahan. Ia menolak tafsir beku yang mengunci ayat dalam masa lalu, tapi juga menolak tafsir liar yang melepaskannya dari akar wahyu.
Ia menawarkan keseimbangan: menafsir sejarah tanpa meninggalkan iman, menegakkan hukum tanpa mengabaikan rahmat.
Dalam satu bagian, ia menulis: “Kitab Suci yang terdiri dari 6.000 ayat lebih itu mengandung nasihat, sejarah, dan dasar-dasar ilmu pengetahuan. Semua saling menjelaskan.”
Sebuah pesan yang seolah ditulis ulang untuk zaman ini—ketika banyak orang tergoda melihat Al-Qur’an hanya sebagai pasal-pasal hukum, bukan medan makna yang terus menumbuhkan akal dan keadilan.
(mif)