Laa Dharar Walaa Dhirar: Ketika Hak Milik Tak Lagi Mutlak
Miftah yusufpati
Rabu, 29 Oktober 2025 - 15:46 WIB
Dalam sistem Islam, hakim boleh mencabut hak milik jika keberadaannya menimbulkan mudarat bagi banyak orang. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Dalam masyarakat modern yang diwarnai sengketa lahan, limbah industri, hingga monopoli tambang, ada satu prinsip kuno yang terasa semakin relevan: tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling membahayakan. Sebuah kalimat pendek dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang kini menggema kembali ketika masyarakat mulai menggugat batas antara hak individu dan kepentingan publik.
Prinsip itu bukan hasil dari wacana aktivis lingkungan atau teori ekonomi hijau. Ia bersumber dari risalah Islam empat belas abad silam, seperti diuraikan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi dalam karyanya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Malaamihu Al-Mujtama’ Al-Muslim Alladzi Nasyuduh), diterbitkan Citra Islami Press, edisi Januari 1997.
Qardhawi menulis bahwa Islam memang mengakui kepemilikan pribadi. Seseorang bebas memiliki tanah, rumah, atau bahkan sarana produksi, sejauh harta itu halal dan tidak menjadi milik bersama yang dibutuhkan masyarakat luas. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas. Ketika kepemilikan pribadi menimbulkan bahaya sosial—baik langsung maupun tidak—negara memiliki kewenangan untuk mengekangnya, bahkan mencabutnya.
Ketika Hak Milik Menjadi Bahaya
Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, pernah berhadapan dengan kasus unik: Samurah bin Jundub memiliki sebatang pohon kurma di tengah kebun seorang sahabat Anshar. Setiap kali hendak mengambil hasil pohonnya, Samurah masuk begitu saja ke dalam kebun orang lain, membuat pemilik resah.
Nabi menawarkan jalan damai: pohon itu dijual atau dipindahkan ke tempat lain. Samurah menolak. Maka, Rasulullah memutuskan: pohon itu harus dicabut. “Engkau telah membuat bahaya,” sabda beliau.
Bagi Qardhawi, keputusan itu bukan sekadar solusi sengketa pribadi, melainkan preseden hukum sosial Islam. Negara, atau hakim dalam konteks itu, berhak mencegah seseorang menggunakan hartanya jika terbukti merugikan orang lain.
Prinsip itu bukan hasil dari wacana aktivis lingkungan atau teori ekonomi hijau. Ia bersumber dari risalah Islam empat belas abad silam, seperti diuraikan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi dalam karyanya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Malaamihu Al-Mujtama’ Al-Muslim Alladzi Nasyuduh), diterbitkan Citra Islami Press, edisi Januari 1997.
Qardhawi menulis bahwa Islam memang mengakui kepemilikan pribadi. Seseorang bebas memiliki tanah, rumah, atau bahkan sarana produksi, sejauh harta itu halal dan tidak menjadi milik bersama yang dibutuhkan masyarakat luas. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas. Ketika kepemilikan pribadi menimbulkan bahaya sosial—baik langsung maupun tidak—negara memiliki kewenangan untuk mengekangnya, bahkan mencabutnya.
Ketika Hak Milik Menjadi Bahaya
Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud, pernah berhadapan dengan kasus unik: Samurah bin Jundub memiliki sebatang pohon kurma di tengah kebun seorang sahabat Anshar. Setiap kali hendak mengambil hasil pohonnya, Samurah masuk begitu saja ke dalam kebun orang lain, membuat pemilik resah.
Nabi menawarkan jalan damai: pohon itu dijual atau dipindahkan ke tempat lain. Samurah menolak. Maka, Rasulullah memutuskan: pohon itu harus dicabut. “Engkau telah membuat bahaya,” sabda beliau.
Bagi Qardhawi, keputusan itu bukan sekadar solusi sengketa pribadi, melainkan preseden hukum sosial Islam. Negara, atau hakim dalam konteks itu, berhak mencegah seseorang menggunakan hartanya jika terbukti merugikan orang lain.