home masjid

Rahasia di Balik Larangan: Ketika Sains Bertemu Wahyu dalam Sepotong Daging Babi

Kamis, 13 November 2025 - 15:31 WIB
Dalam pandangan Al-Quran, larangan atas makanan bukan sekadar soal gizi atau bahaya medis. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Di antara meja makan dan kitab suci, ada perdebatan panjang yang tak pernah selesai: mengapa sebagian makanan diharamkan? Pertanyaan itu mungkin lahir dari rasa ingin tahu manusia yang selalu ingin mencari “alasan” di balik perintah. Namun, sebagaimana diingatkan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat(Mizan, 1996), jawaban yang ditemukan manusia sering kali hanya menyentuh kulitnya saja—tidak sampai ke inti kebijaksanaan ilahi.

“Babi,” tulis Quraish Shihab, “sering dijadikan contoh utama dalam pembahasan ini.” Ia mengutip pandangan Faruq Musahil dalam Tahrim al-Khinzir fi al-Islam, yang menjelaskan bagaimana hewan itu membawa ancaman nyata bagi kesehatan. Dari cacing pita Taenia solium yang bisa mencapai delapan meter di usus manusia, hingga kasus flu babi tahun 1918 yang menewaskan jutaan orang.

Dari perspektif medis, bukti-bukti bahaya daging babi terus bertambah. Dalam The Journal of Infectious Diseases(2019), tim peneliti dari University of Minnesota menulis bahwa daging babi merupakan salah satu sumber zoonosis potensial—penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia—karena kemiripan genetik virus influenza babi dan manusia.

Ahmad Syauqi al-Fanjari, dalam Ath-Thibb al-Wiqaiy fi al-Islam(Cairo, 1985), melengkapi catatan itu: kandungan lemak babi mencapai 50% dari berat tubuhnya, jauh lebih tinggi dibanding domba (17%) dan kerbau (5%). Lemak jenuh yang tinggi, tulisnya, berkaitan erat dengan penyakit kardiovaskular. Encyclopedia Americana juga mencatat bahwa lemak babi mengandung kolesterol 15 kali lebih tinggi dari daging sapi.

Namun, kata Quraish Shihab, bahaya biologis hanyalah sebagian dari persoalan. “Bukan di situ letak utama hikmah pengharaman,” tulisnya. Ada lapisan makna yang lebih dalam—tentang ketaatan, kebersihan batin, dan etika spiritual manusia dalam menanggapi perintah Tuhan.

Ketika Wahyu Mendahului Ilmu

Sejarah mencatat, banyak larangan dalam agama yang baru terbukti “masuk akal” berabad-abad kemudian. Larangan memakan bangkai, darah, atau daging babi baru mendapat pembenaran medis setelah berkembangnya mikrobiologi dan biokimia. Namun, bahkan setelah penjelasan ilmiah ditemukan, sebagian ulama seperti Imam al-Ghazali tetap mengingatkan: jangan jadikan ilmu sebagai alasan utama taat.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya