LANGIT7.ID- Di tengah panasnya gurun Makkah, pada masa ketika ajaran Muhammad baru berbisik pelan di telinga Quraisy, seorang pedagang kaya bernama Utsman bin Affan jatuh cinta. Bukan kepada kekuasaan, bukan pula pada harta, tetapi pada seorang perempuan muda yang lembut dan beriman—Ruqayyah binti Muhammad.
Dalam
Utsman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaan karya Muhammad Husain Haekal (Pustaka Litera AntarNusa, 1997), kisah ini ditulis dengan nada ragu sekaligus reflektif. “Saya tidak tahu,” tulis Haekal, “adakah tertariknya Utsman kepada Ruqayyah itu ada pengaruhnya dalam keislamannya.”
Keraguan itu penting: sebab sejarah Islam, tulis Haekal, bukan sekadar kumpulan kisah suci, melainkan pertemuan manusia dengan takdir—kadang melalui cinta.
Ruqayyah adalah putri Rasulullah SAW dan Khadijah. Ia dikenal lembut, sabar, dan penuh kasih. Dalam catatan
al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir, disebut bahwa Utsman menikahinya sebelum hijrah ke Habasyah. Usia Ruqayyah belum genap dua puluh tahun, sementara Utsman mendekati empat puluh—seorang pria matang yang sebelumnya telah menikah di masa jahiliah.
Mereka hidup sederhana, jauh dari kemewahan Quraisy. Ketika tekanan terhadap kaum Muslim meningkat, keduanya termasuk rombongan pertama yang hijrah ke Habasyah. Dalam riwayat Ibn Sa’ad di Thabaqat al-Kubra, Nabi SAW berkata: “Mereka adalah rumah pertama yang hijrah di jalan Allah setelah Ibrahim dan Luth.”
Kisah ini bukan sekadar pelarian politik, melainkan keputusan cinta dan iman. Dalam analisis Haekal, Utsman bukan hanya mengikuti istrinya, tapi menemukan arah hidup baru melalui kebersamaan itu.
Dari Kekayaan ke PengorbananUtsman dikenal sebagai saudagar berhati lembut. Dalam karya Raghib as-Sirjani, Rijal Haula ar-Rasul (Dar al-Ma’arif, 2008), ia digambarkan sebagai “pedagang yang hatinya lebih kaya daripada hartanya.” Ia membebaskan budak, menolong kaum miskin, dan membiayai perjuangan dakwah Nabi dengan derma besar.
Ketika Ruqayyah wafat pada tahun 2 Hijriah, saat Perang Badar berlangsung, Utsman tidak ikut berperang karena diperintahkan Nabi untuk merawat istrinya yang sakit. Dari duka itu, Nabi SAW bersabda, “Engkau mendapat pahala seperti orang yang ikut Badar.”
Kematian Ruqayyah meninggalkan luka dalam, tapi juga meneguhkan reputasi Utsman sebagai lelaki berjiwa halus—sebuah karakter yang kelak menjadi ciri khas kepemimpinannya.
Dua tahun setelah Ruqayyah wafat, Rasulullah menikahkan Utsman dengan putrinya yang lain, Ummu Kultsum. Dari sinilah Utsman dikenal sebagai Dzun Nurain—pemilik dua cahaya. Menurut sejarawan al-Hafiz Ibn Asakir dalam Tarikh Dimasyq, gelar itu bukan hanya simbol keluarga, tapi penghormatan atas kemurnian cintanya.
Ia mencintai putri-putri Nabi bukan karena kedudukan, tapi karena iman yang sama. Dalam tradisi Islam klasik, rumah tangga Utsman menjadi contoh kesatuan antara kasih manusiawi dan spiritualitas.
Cinta dalam Perspektif Ulama DuniaCinta Utsman dan Ruqayyah telah menjadi bahan tafsir banyak ulama dan pemikir modern. Seyyed Hossein Nasr dalam
Ideals and Realities of Islam (Harper & Row, 1975) menyebut bahwa hubungan suci dalam Islam bukan sekadar urusan biologis, tapi “refleksi dari hubungan antara ruh dan kebenaran.” Dalam konteks ini, pernikahan Utsman dan Ruqayyah adalah perwujudan cinta yang membawa manusia mendekat kepada Ilahi.
Sementara Ali Shariati dalam
Fatimah adalah Fatimah (Mizan, 1984) menulis bahwa cinta dalam Islam adalah kekuatan pembebas. “Cinta sejati,” tulisnya, “tidak menjadikan seseorang tunduk, tetapi mengangkatnya menuju kesadaran spiritual.”
Begitulah yang tampak pada Utsman. Cintanya kepada Ruqayyah tidak menjadikannya lemah, tetapi justru mengubahnya dari saudagar biasa menjadi mujahid dalam sunyi.
Ketika Cinta Menjadi DakwahKisah Utsman dan Ruqayyah jarang dibaca sebagai kisah cinta, karena sejarah Islam lebih sering menekankan aspek heroik. Padahal, menurut Karen Armstrong dalam
Muhammad: Prophet for Our Time (HarperOne, 2006), kekuatan Islam awal bukan hanya pada pedang, melainkan pada kelembutan dan kasih di rumah para sahabat.
Haekal menulis, “Barangkali Ibn Katsir mendasarkan sumber itu dari al-Hafiz Ibn Asakir… sesuai dengan sifat Usman yang sangat perasa itu.” Ia menyiratkan bahwa keislaman Utsman bukan hanya keputusan intelektual, melainkan pengalaman emosional yang dalam.
Dalam bahasa lain, iman yang tumbuh dari cinta.
Warisan Dua CahayaSetelah wafatnya Ruqayyah dan kemudian Ummu Kultsum, Utsman tetap hidup dalam kesetiaan dan ibadah. Ia menjadi khalifah ketiga, memimpin umat dengan harta dan kelembutan. Namun di tengah hiruk politik dan pemberontakan, ia tetap dikenal sebagai pria yang menangis di malam hari membaca Al-Qur’an.
Dalam
The Succession to Muhammad (Cambridge University Press, 1997), Wilferd Madelung menyebut Utsman sebagai “pemimpin spiritual yang hidup dalam nostalgia cinta dan kesalehan.” Ia dibunuh di rumahnya saat membaca mushaf, dan darahnya menodai ayat: “Maka Allah akan mencukupkanmu dari mereka.” (QS Al-Baqarah: 137).
Mungkin di situlah ujung kisah cinta itu: dari Ruqayyah, Utsman belajar bahwa kasih yang sejati bukan milik dunia, tapi milik keabadian.
(mif)