Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 13 November 2025
home masjid detail berita

Sejarah Islam Nusantara: Kekhawatiran, Misi, dan Islam yang Bangkit

miftah yusufpati Kamis, 06 November 2025 - 16:10 WIB
Sejarah Islam Nusantara: Kekhawatiran, Misi, dan Islam yang Bangkit
Sarekat Islam menjelma kekuatan sosial baru yang membuat resah pejabat kolonial, misionaris, dan para orientalis Belanda. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Di awal abad ke-20, di antara hamparan kebun tebu dan kantor misi kolonial, lahir satu kekuatan sosial yang menggetarkan Hindia Belanda: Sarekat Islam. Ia tidak hanya mengguncang elite bumiputra, tapi juga membuat resah para pejabat, misionaris, dan penasihat yang menganggap diri mereka pengarah jalan “kemajuan.”

Michael Laffan, dalam karyanya Sejarah Islam di Nusantara (terjemahan dari The Makings of Indonesian Islam, Princeton University Press, 2011), menggambarkan masa ketika para penginjil, ahli hukum, dan orientalis Belanda merasa kehilangan pijakan. Islam yang semula mereka pandang sebagai tradisi lokal yang bisa “dikawal,” berubah menjadi arus kesadaran baru — rasional, sosial, sekaligus politis.

Tahun 1914, Masyarakat Misi Belanda gelisah. Dalam rapat-rapatnya, nama Sarekat Islam bergema seperti hantu yang tak bisa diusir. Para misionaris menilai kemunculan organisasi itu bukan hanya fenomena sosial, tetapi bentuk perlawanan umat terhadap modernitas yang didefinisikan Barat. Mereka melihat orang Jawa yang membangun sekolah, surat kabar, dan rumah sakit—bukan untuk meniru misi Kristen, tetapi untuk menandingi.

M. Lindenborn, Direktur Misi kala itu, menuding pemerintah kolonial terlalu memihak Islam. “Ada lapangan bermain yang tidak seimbang,” keluhnya. Di Manado, seorang misionaris menulis dengan getir: “Jika negara memberi ruang pada sekolah-sekolah Islam, maka sia-sialah kerja keras kami membangun lembaga Kristen.”

Bagi mereka, kebangkitan Islam bukan kabar gembira. Ia adalah ancaman terhadap investasi rohani yang telah mereka tanamkan selama puluhan tahun.

Negara dan Mazhab yang Diperketat

Dari balik meja birokrasi, Kantor Urusan Pribumi—bentukan Belanda untuk mengatur “urusan keislaman”—menegaskan garis keras ortodoksi. Mereka menentukan siapa yang layak jadi penghulu, apa kitab yang sah dipelajari, dan bahkan nasib warisan perempuan Indo-Eropa yang menikah dengan lelaki muslim.

Seorang pejabat, G.A.J. Hazeu, menulis daftar panjang kitab fikih Arab yang dianggap standar: Fath al-Qarib, Minhaj al-Talibin, Tohfat al-Muhtaj, dan lainnya. Ia menegaskan: siapa pun yang ingin jadi ulama mesti menguasai teks-teks itu “di bawah bimbingan guru yang pandai.” Dalam pandangan Belanda, Islam yang “teknis” lebih mudah dikendalikan dibanding Islam rakyat yang longgar dan mistis.

Namun, kebijakan yang mengatur terlalu ketat itu justru membangkitkan semangat baru di kalangan terdidik Muslim. Mereka membalikkan kontrol menjadi alat perlawanan: belajar, berorganisasi, menulis.

Christiaan Snouck Hurgronje—orientalis yang menjadi penasihat utama pemerintah kolonial—menyebut Sarekat Islam sebagai tanda kemajuan. “Ratusan ribu orang berusaha memperbaiki diri,” katanya dalam kuliah di Amerika, 1914. Namun, di antara kalimat yang terpuji itu tersembunyi niat politik: Islam yang “berkemajuan” boleh tumbuh, asalkan tetap jinak terhadap negara.

Generasi penerus Snouck, seperti Hazeu dan B.J.O. Schrieke, melanjutkan proyek itu. Mereka memantau perdebatan antara kaum Kaum Muda reformis dan Kaum Tua tarekat. Schrieke, lulusan Leiden, bahkan menulis tesis tentang Serat Bonang—mencari “akar rasional” dalam sufisme Jawa, sambil menyusun peta kekuasaan pengetahuan Islam yang bisa diawasi dari Batavia.

Di bawahnya, laporan-laporan kolonial mencatat setiap pergeseran: dari Minangkabau yang “meninggalkan tarekat” menuju ortodoksi baru; dari Surabaya yang mendirikan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad sebagai reaksi terhadap penghinaan terhadap Nabi dalam media kolonial.

Ketegangan Baru

Kekhawatiran tidak hanya datang dari Belanda. Inggris di Singapura ikut cemas melihat pengaruh Islam lintas Selat makin kuat. Sementara itu, misionaris Hoekendijk menulis pamflet demi pamflet untuk melawan arus literasi Muslim yang kian meluas. Surat kabar, novelet detektif, dan risalah-risalah dakwah menjadi medan perebutan baru—antara “jiwa yang diajari membaca” dan “akal yang ingin bebas berpikir.”

Ketika Volkslectuur (Biro Pustaka Rakyat) dibentuk, pemerintah kolonial berharap bisa “mensterilkan” bacaan rakyat. Tapi justru dari sana lahir generasi yang membaca dengan kesadaran: Islam bukan lagi hanya iman, tapi juga identitas dan wacana kebangsaan.

Dari Jamaah ke Bangsa

Dalam analisis Laffan, masa ini adalah transisi penting: dari Islam sufistik ke Islam sosial, dari guru tarekat ke aktivis politik. Para penasihat kolonial berusaha menafsirkan, mengontrol, bahkan memanipulasi; tapi Islam di Hindia sudah menulis babnya sendiri—dengan pena yang tak lagi bisa dihapus.

Dari Batavia ke Padang, dari ulama Mekah seperti Ahmad Khatib hingga cendekiawan pembaharu seperti Haji Rasul dan Abdullah Ahmad, semangat yang dulu dibingkai “keagamaan” kini menjelma “kebangsaan.”

Ketika pemerintah kolonial menolak Sarekat Islam mengelola dana masjid, suara protes mereka menggema: “Kami tidak lagi senang ada orang lain turut campur dalam rumah kami.”

Kalimat itu, tulis Laffan, menandai pergeseran sejarah yang menentukan: Islam di Nusantara tak lagi menunggu nasihat dari Leiden atau Batavia. Ia berdiri sendiri—tegar, kritis, dan sadar diri.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 13 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:40
Ashar
15:01
Maghrib
17:52
Isya
19:04
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan